Akses Pendidikan Tak Merata: Penyebab Utama Tingginya Angka Anak Tidak Sekolah di Indonesia
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan akses dan sebaran pendidikan yang tidak merata sebagai faktor utama tingginya angka anak tidak sekolah di Indonesia, terutama di daerah terpencil seperti Cianjur dan Bone.

Jakarta, 5 Mei 2024 - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa akses dan sebaran satuan pendidikan yang tidak merata menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka anak tidak sekolah di Indonesia. Angka ini menjadi perhatian serius mengingat dampaknya terhadap masa depan bangsa. Ketimpangan akses pendidikan ini terutama dirasakan di daerah-daerah terpencil dan kurang berkembang.
"Akses dan sebaran satuan pendidikan yang belum merata. Pada daerah tertentu anak putus sekolah karena jaraknya terlalu jauh dari sekolah. Contohnya di Cianjur, Jawa Barat, ditemukan Sekolah Dasar yang dalam satu desa antar-dusun hingga 3 hingga 4 kilometer," ungkap Aris Adi Leksono, Anggota KPAI Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Agama, dalam wawancara di Jakarta, Senin.
Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya akses transportasi dan infrastruktur di beberapa wilayah. Tidak hanya di tingkat SD, permasalahan serupa juga ditemukan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tantangan geografis dan ekonomi menjadi penghalang bagi anak-anak untuk mengenyam pendidikan yang layak.
Tantangan Akses Pendidikan di Daerah Terpencil
Aris Adi Leksono menuturkan, di Cianjur Selatan, akses menuju SMP dan SMA bahkan mengharuskan siswa menempuh perjalanan dengan ojek yang biayanya mencapai Rp150.000. Biaya transportasi yang tinggi ini menjadi beban tambahan bagi keluarga yang secara ekonomi kurang mampu, sehingga banyak anak terpaksa putus sekolah.
Situasi serupa juga ditemukan di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Di satu dusun tertentu, hanya terdapat Sekolah Dasar hingga kelas 5. Untuk melanjutkan pendidikan ke kelas 6, siswa harus menempuh perjalanan lebih dari lima kilometer menuju desa lain. Jarak tempuh yang jauh dan minimnya fasilitas transportasi menjadi kendala utama.
Kondisi ini menggambarkan betapa besarnya kesenjangan akses pendidikan di Indonesia. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini dan memastikan setiap anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, tanpa memandang lokasi geografis atau latar belakang ekonomi.
Data Susenas: Jutaan Anak Usia Sekolah Tidak Mengenyam Pendidikan
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan. Saat ini, masih ada sekitar 4,2 juta anak usia 6-18 tahun yang tidak sekolah. Angka ini terdiri dari 0,5 juta anak yang tidak pernah sekolah sama sekali, 0,5 juta anak putus sekolah, dan 3,2 juta anak yang sebelumnya sudah tidak bersekolah.
Data tersebut menunjukkan betapa besarnya tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif dan merata. Permasalahan ini bukan hanya tentang akses, tetapi juga berbagai faktor kompleks lainnya yang saling berkaitan.
Selain akses dan sebaran pendidikan yang tidak merata, beberapa faktor lain juga turut berkontribusi terhadap tingginya angka anak tidak sekolah. Faktor-faktor tersebut antara lain:
- Faktor ekonomi
- Faktor sosial budaya
- Layanan pendidikan yang terbatas
- Korban kekerasan
- Anak berhadapan hukum
- Perkawinan anak
- Anak disabilitas
- Kecanduan gawai/gim
- Anak korban narkoba
- Anak korban kebijakan dikeluarkan dari sekolah
Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu bekerja sama untuk mengatasi permasalahan ini secara komprehensif. Solusi yang terintegrasi dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk memastikan setiap anak Indonesia memiliki kesempatan yang setara dalam mengakses pendidikan.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dan pemerataan aksesnya harus menjadi prioritas utama. Dengan demikian, cita-cita Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas dan berdaya saing dapat terwujud.