Aktivis Neni Nur Hayati Somasi Pemprov Jabar: Menuntut Permintaan Maaf dan Penghapusan Konten, Mengapa?
Aktivis Neni Nur Hayati somasi Pemprov Jabar dan Diskominfo terkait dugaan pelanggaran privasi. Ia menuntut permintaan maaf dan penghapusan konten yang memuat fotonya.

Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi (LBH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi melayangkan somasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) dan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jabar. Somasi ini diajukan atas nama aktivis demokrasi Neni Nur Hayati pada Senin (21/7) di Gedung Sate Bandung. Tuntutan utama adalah permintaan maaf dan pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran hak privasi.
Pelanggaran privasi ini bermula dari pemasangan foto Neni Nur Hayati tanpa izin dalam unggahan klarifikasi oleh kanal resmi Diskominfo dan akun media sosial Pemprov Jabar. Unggahan tersebut merespons pernyataan Neni terkait penggunaan pendengung (buzzer) oleh kepala daerah. Tindakan ini dinilai melanggar undang-undang perlindungan data pribadi.
Kuasa hukum Neni Nur Hayati, Ikhwan Fahrojhi dari LBH Muhammadiyah, menegaskan bahwa somasi ini bertujuan menyelesaikan persoalan secara persuasif. Pihaknya memberikan tenggat waktu 2x24 jam untuk penghapusan konten dan lima hari untuk permintaan maaf terbuka. Jika tidak ada itikad baik, langkah hukum lebih lanjut akan ditempuh.
Kronologi Somasi dan Tuntutan Hukum
Somasi yang dilayangkan oleh LBH PP Muhammadiyah ini menyoroti penggunaan foto Neni Nur Hayati tanpa persetujuan. Foto tersebut muncul dalam konteks klarifikasi resmi terkait kritik Neni mengenai fenomena penggunaan buzzer oleh kepala daerah. Ikhwan Fahrojhi menekankan bahwa pelanggaran ini juga melekat pada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, karena akun resmi Pemprov Jabar terlibat.
Tuntutan utama dalam somasi ini mencakup dua hal krusial. Pertama, permintaan maaf secara terbuka dari Pemprov Jabar dan Diskominfo Jabar kepada Neni Nur Hayati. Kedua, tindakan "takedown" atau penghapusan seluruh konten yang menampilkan wajah klien mereka dari akun-akun resmi. Tenggat waktu yang diberikan menunjukkan keseriusan dalam penanganan kasus ini.
Ikhwan Fahrojhi menegaskan bahwa jika somasi tidak direspons dengan itikad baik, langkah hukum akan diambil. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Kasus ini menjadi preseden penting dalam upaya menjaga hak-hak individu di era digital, terutama bagi mereka yang aktif menyuarakan pendapat.
Dampak Pelanggaran Privasi Terhadap Aktivis
Neni Nur Hayati mengungkapkan bahwa pemasangan fotonya tanpa izin telah memicu serangkaian serangan digital intens. Ini termasuk doxing, peretasan akun media sosial pribadi, bahkan akun orang-orang terdekatnya. Ancaman kekerasan yang diterima Neni telah melampaui batas ujaran kebencian biasa, menyentuh potensi penyiksaan dan ancaman nyawa.
Sebagai aktivis yang kerap menyuarakan isu demokratisasi dan tata kelola pemerintahan, Neni merasa ruang geraknya dibatasi. Ia terpaksa menghentikan sementara aktivitas edukasi politik di media sosialnya akibat tekanan ini. Serangan semakin intens setelah unggahan klarifikasi Gubernur Jawa Barat diperkuat oleh lima akun resmi Pemprov Jabar yang dikelola Diskominfo.
Neni menegaskan bahwa kritikannya di media sosial TikTok bersifat umum dan tidak pernah menyebut nama Gubernur Jawa Barat atau individu tertentu. Ia hanya mengkritik fenomena pencitraan berlebihan dan penggunaan buzzer oleh kepala daerah secara umum. Neni memandang kritik ini sebagai bagian dari kontrol warga terhadap jalannya pemerintahan, yang seharusnya dijamin konstitusi.
Pentingnya Kebebasan Berpendapat dan Transparansi Pemerintah
Kasus Neni Nur Hayati ini menyoroti pentingnya perlindungan kebebasan berpendapat di ruang publik, terutama bagi aktivis. Kritik konstruktif yang disampaikan warga negara seharusnya direspons dengan dialog, bukan tindakan represif atau pelanggaran privasi. Insiden ini menciptakan kekhawatiran akan ruang yang represif terhadap ekspresi demokrasi.
Neni juga menyinggung isu transparansi anggaran media pemerintah daerah. Meskipun tidak menyebut anggaran secara spesifik, ia mendorong pemerintah daerah untuk bersikap terbuka mengenai alokasi belanja media. Transparansi ini penting untuk membangun kepercayaan publik dan menghindari spekulasi terkait penggunaan dana publik.
Neni Nur Hayati berharap kejadian ini menjadi momentum evaluasi bagi pemerintah daerah. Penting bagi pemerintah untuk tetap menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan melindungi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat. Kasus ini menjadi pengingat bahwa hak privasi dan kebebasan berekspresi adalah pilar penting dalam masyarakat demokratis.