APNI Tolak Prioritas Ormas dan Universitas Kelola Tambang Nikel
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menolak kebijakan pemerintah yang memprioritaskan ormas keagamaan dan universitas dalam pengelolaan tambang, meminta agar prosesnya dilakukan secara lelang terbuka dan adil.

Jakarta, 22 Januari 2024 - Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, secara tegas menolak rencana pemerintah untuk memberikan prioritas kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dan perguruan tinggi dalam pengelolaan lahan tambang nikel. Pernyataan penolakan ini disampaikan usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi DPR terkait revisi Undang-Undang Minerba di Jakarta.
Meidy menekankan perlunya keadilan dan transparansi dalam pengelolaan tambang. Ia menyarankan agar proses pengalokasian lahan tambang dilakukan melalui lelang terbuka, bukan dengan memberikan prioritas tertentu. "Jangan pernah ada kata prioritas, saya minta yang adil. Kalau mau gandeng semuanya, oke. Tapi lelang terbuka," tegas Meidy.
APNI menilai bahwa ormas keagamaan dan universitas memiliki kapabilitas yang berbeda dengan perusahaan tambang profesional dalam mengelola lahan pertambangan yang kompleks dan berisiko tinggi. Pengelolaan tambang membutuhkan keahlian khusus, pendanaan besar, dan manajemen risiko yang terampil.
Jika pemerintah tetap ingin melibatkan ormas keagamaan dan perguruan tinggi, APNI mengusulkan adanya klasifikasi dan spesifikasi lelang yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. "Misalkan, batasannya A, luasan 100 hektar, harus punya kemampuan apa saja, alat beratnya harus berapa," jelas Meidy, menekankan pentingnya kriteria yang jelas dan terukur.
Lebih lanjut, Meidy menyoroti dampak inkonsistensi aturan terhadap iklim investasi di sektor pertambangan. Menurutnya, ketidakpastian regulasi membuat banyak pengusaha, tidak hanya di sektor nikel, merasa pesimis dan cenderung menyerah. "Dengan inkonsistensi aturan, pengusaha semua, bukan hanya nikel, saya rasa semua juga nyerah. Selain itu, kondisi di lapangan juga nggak mudah," ungkap Meidy.
Polemik ini muncul setelah Baleg DPR menyetujui revisi UU Minerba sebagai usul inisiatif DPR pada 21 Januari 2024. Revisi ini bersifat kumulatif, merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Minerba sebelumnya. Selain menindaklanjuti putusan MK, DPR juga menambahkan beberapa substansi baru, termasuk pasal yang mengatur tentang prioritas bagi ormas keagamaan dan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang.
Penambahan pasal yang mengatur prioritas untuk ormas keagamaan (Pasal 51 ayat (3)) dan perguruan tinggi (Pasal 51A) dalam RUU Minerba yang direvisi menjadi poin krusial yang ditolak APNI. APNI khawatir kebijakan ini dapat menghambat investasi dan perkembangan sektor pertambangan nikel di Indonesia.
Kesimpulannya, APNI mendesak pemerintah untuk menerapkan prinsip keadilan dan transparansi dalam pengelolaan tambang nikel. Lelang terbuka dianggap sebagai mekanisme yang paling tepat untuk memastikan pengelolaan tambang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan kapabilitas yang memadai.