Bahaya Mengintai di Balik Dentuman Sound Horeg 130 dB: Fatwa Haram MUI hingga Ancaman Kesehatan Telinga
Fenomena sound horeg kini menjadi sorotan, memicu fatwa haram MUI dan kekhawatiran kesehatan akibat dentuman suara ekstrem. Bagaimana respons pemerintah dan masyarakat?

Fenomena "sound horeg" dengan dentuman musik keras kini menjadi perhatian serius di berbagai daerah, khususnya Jawa Timur. Warga di Kabupaten Malang bahkan memasang lakban pada jendela rumahnya untuk meredam potensi kerusakan. Hal ini menunjukkan dampak nyata dari aktivitas yang semakin marak tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa haram terhadap "sound horeg" pada pertengahan Juli 2025. Fatwa ini didasari oleh potensi bahaya kesehatan pendengaran dan kerusakan fisik yang ditimbulkan. Suara yang melebihi ambang batas aman menjadi dasar utama keputusan tersebut.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan kepolisian juga turut merespons fenomena ini dengan berbagai upaya kolaboratif. Tujuannya adalah mencari solusi atas gejolak sosial yang timbul antara penyuka hiburan ini dan masyarakat yang merasa terganggu. Diskusi dan regulasi sedang diformulasikan untuk mengatasi masalah ini.
Dampak dan Bahaya Kesehatan Sound Horeg
Fatwa haram MUI Jawa Timur terhadap "sound horeg" tidak hanya didasari oleh bunyi semata, tetapi juga dampak destruktifnya. Suara yang sangat nyaring dan melebihi ambang batas normal dapat membahayakan kesehatan pendengaran manusia. Selain itu, dentuman keras ini juga berpotensi merusak benda-benda milik masyarakat, seperti kaca jendela rumah yang bisa retak bahkan pecah saat rombongan "sound horeg" melintas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan batas aman kebisingan di angka 85 desibel (dB) dengan durasi maksimal delapan jam. Namun, sebuah pengukuran menggunakan aplikasi DBmeter di telepon seluler pintar menunjukkan tingkat kebisingan "sound horeg" dapat mencapai 130 dB. Angka ini jauh melampaui batas aman yang ditetapkan oleh WHO.
Dokter spesialis THT, dr. Meyrna Heryaning Putri SpTHT BKL, FICS, menjelaskan bahwa paparan suara di atas 85 dB selama delapan jam dapat merusak koklea atau "rumah siput" di dalam telinga. Bahkan, volume suara 140 dB dalam waktu singkat dapat menyebabkan kerusakan fatal. Kerusakan ini tidak hanya pada saraf, tetapi juga gendang telinga, tulang pendengaran, dan seluruh komponen telinga.
Tanda-tanda awal masalah pendengaran akibat kebisingan ekstrem meliputi telinga terasa penuh, seperti tertutup suatu benda, atau berdengung dalam suara kecil. Kelompok usia yang belum matang, seperti bayi dan anak-anak, menjadi yang paling rentan terdampak dari kebisingan suara yang melebihi ambang batas aman tersebut.
- WHO merekomendasikan batas aman kebisingan 85 desibel (dB) dengan durasi maksimal delapan jam.
- Pengukuran "sound horeg" di media sosial mencapai 130 dB, jauh melampaui batas aman.
- Volume 140 dB dapat menyebabkan kerusakan fatal pada saraf, gendang telinga, tulang pendengaran, dan koklea.
- Bayi dan anak-anak menjadi kelompok usia paling rentan terhadap kebisingan ekstrem.
Fenomena Sosial dan Tantangan Regulasi
Dosen Jurusan Sosiologi dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Didid Haryadi, memandang fenomena "sound horeg" sebagai sebuah tren sesaat. Ini mirip dengan fenomena viral lainnya seperti klakson "Om telolet om" atau permainan "lato-lato". Oleh karena itu, "sound horeg" tidak dapat dikategorikan sebagai budaya, melainkan lebih sebagai hiburan yang bersifat temporer.
Budaya sesungguhnya merupakan produk sosial yang bersifat adiluhung, dirawat bersama oleh anggota masyarakat, dan menjadi panduan cara hidup. "Sound horeg" tidak memenuhi kriteria tersebut karena lebih menunjukkan fenomena sesaat di mana masyarakat mencari dan menemukan saluran ekspresi. Secara sosiologis, ini bukan budaya.
Dari sisi psikologi sosial, fenomena "sound horeg" menunjukkan adanya persaingan eksistensi. Oleh karena itu, perlu dicari formula kompetisi yang lebih bisa diterima secara luas dan tidak menimbulkan efek negatif. Kompetisi ini bisa diwujudkan dengan mengabaikan nyaringnya suara, namun lebih kepada aspek visual.
Aspek visual dapat mencakup tampilan warna dan gerakan, seperti yang terlihat pada fenomena Pacu Jalur yang mendunia. Untuk itu, perlu ada inisiatif untuk mengalihkan fokus dari berlomba menyaringkan suara musik "sound horeg" ke tampilan visual. Tokoh masyarakat dan kalangan kampus dapat berperan dalam mendampingi penyuka "sound horeg" untuk menemukan formula ekspresi yang lebih elegan.
Upaya Penanganan dan Solusi Kolaboratif
Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur telah mengeluarkan imbauan untuk menghentikan kegiatan yang menggunakan hiburan "sound horeg". Imbauan ini kemudian diterapkan oleh sejumlah kepolisian resor, termasuk di wilayah Malang Raya yang meliputi Kabupaten dan Kota Malang, serta Kota Batu.
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Batu AKBP Andi Yudha Pranata menindaklanjuti arahan polda dengan menerapkan pendampingan ketat. Pendekatan persuasif dilakukan kepada kelompok masyarakat yang menyukai "sound horeg". Dari pendekatan ini, tercapai kesepakatan mengenai jam operasional, jumlah subwoofer, dan ketentuan maksimal suara di angka 60 dB.
Polresta Malang Kota secara tegas melarang kegiatan "sound horeg" demi menjaga ketertiban masyarakat. Mereka meminta masyarakat untuk mematuhi aturan yang ada dan berkoordinasi dengan kepolisian jika akan menyelenggarakan kegiatan. Kepolisian setempat berkomitmen untuk tidak menoleransi kegiatan yang berpotensi menimbulkan keresahan.
Pada dasarnya, agenda hiburan tidak dipermasalahkan selama pelaksanaannya tidak menyebabkan gangguan terhadap masyarakat. Pentingnya rasa saling menghormati harus dipegang teguh oleh semua pihak sebagai bagian dari warga sosial. Sambil menunggu kebijakan dari Pemprov Jatim, semua pihak perlu serius memperhatikan "sound horeg" ini.
Penyuka suara keras hendaknya menyadari dampak negatifnya, sementara masyarakat lain dapat mencegah anggota keluarga atau kelompoknya untuk tidak mendukung aktivitas "sound horeg". Tokoh agama dan masyarakat juga memegang peranan penting dalam mendekati para penyuka "sound horeg" agar menghentikan kegiatan yang merugikan secara sosial, kesehatan, dan berpotensi memecah belah masyarakat. Hiburan seharusnya membawa kegembiraan dan kebahagiaan bagi semua.