Bahlil: Permasalahan Elpiji, Jihad Politik Demi Rakyat
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebut permasalahan elpiji sebagai 'jihad politik' untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan rakyat memperoleh haknya atas energi terjangkau.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa upaya mengatasi permasalahan elpiji di Indonesia merupakan sebuah 'jihad politik'. Pernyataan ini disampaikan dalam Indonesia Economic Summit di Jakarta pada Rabu lalu. Bahlil menegaskan komitmennya untuk memastikan hak-hak rakyat atas energi terjangkau terpenuhi, sekaligus menjamin subsidi tepat sasaran.
Konsumsi elpiji nasional mencapai 8,3 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya 1,4-1,6 juta ton. Defisit ini memaksa Indonesia mengimpor 6,7-6,9 juta ton LPG setiap tahunnya. Kondisi ini menjadi fokus utama Bahlil dalam upayanya untuk mengurangi ketergantungan impor dan memastikan ketersediaan elpiji bagi masyarakat.
Pemerintah menggelontorkan subsidi elpiji hingga Rp80 triliun per tahun. Harga jual eceran elpiji 3 kg dipatok Rp4.250 per kg sejak 2007, sementara harga impor dari Saudi Aramco mencapai Rp16.000-Rp17.000 per kg. Subsidi yang diberikan mencapai Rp12.000 per kg atau Rp36.000 per tabung 3 kg. Namun, di lapangan, masyarakat seringkali membeli dengan harga lebih tinggi, yaitu Rp25.000-Rp30.000 per tabung.
Mengatasi Permasalahan Elpiji: Solusi Jangka Panjang
Untuk mengatasi permasalahan impor yang besar dan memastikan subsidi tepat sasaran, pemerintah tengah berupaya membangun industri LPG dalam negeri. Langkah ini meliputi optimalisasi wilayah kerja gas C3 (propana) dan C4 (butana) untuk dikonversi menjadi LPG. Pembangunan jaringan gas (jargas) juga dianggap sebagai solusi penting untuk mengurangi ketergantungan pada elpiji tabung.
Selain itu, permasalahan lain yang dihadapi adalah bobot elpiji 3 kg yang seringkali kurang dari 3 kg (sekitar 2,7 kg), serta praktik pengoplosan LPG 3 kg ke tabung 12 kg untuk dijual ke industri dan sektor lain. Praktik ini menyebabkan mark-up biaya dan subsidi yang tidak tepat sasaran.
Bahlil mengungkapkan keprihatinannya atas situasi ini, "Saya sebagai mantan orang miskin yang dibesarkan dalam keluarga yang susah, gak rela ini terjadi," ujarnya. Ia menegaskan komitmennya untuk memastikan anggaran negara yang dialokasikan untuk subsidi elpiji benar-benar sampai dan tepat sasaran di tangan rakyat, sesuai arahan Presiden.
Subsidi Tepat Sasaran: Tantangan dan Solusi
Pemerintah berupaya keras untuk memastikan subsidi elpiji tepat sasaran. Namun, tantangannya cukup besar, mengingat tingginya harga impor dan praktik-praktik yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang komprehensif, meliputi peningkatan produksi dalam negeri, pengembangan infrastruktur distribusi, dan pengawasan yang ketat untuk mencegah penyelewengan.
Dengan membangun industri LPG dalam negeri dan memperluas jaringan gas, Indonesia diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor dan menstabilkan harga elpiji. Hal ini akan memastikan akses yang lebih mudah dan harga yang lebih terjangkau bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang membutuhkannya.
Selain itu, pengawasan yang ketat terhadap distribusi dan penjualan elpiji sangat penting untuk mencegah praktik-praktik curang seperti pengurangan isi tabung dan pengoplosan. Dengan demikian, subsidi yang diberikan pemerintah dapat benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkan.
Upaya untuk mengatasi permasalahan elpiji ini bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut keadilan sosial. Bahlil Lahadalia menjadikan hal ini sebagai 'jihad politik' karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Komitmen pemerintah untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan rakyat mendapatkan haknya atas energi yang terjangkau, menjadi kunci keberhasilan upaya ini.