Bareskrim Polri Selidiki Dugaan Eksploitasi Sirkus OCI Tahun 1997
Polri kembali menyelidiki kasus dugaan eksploitasi anak di Sirkus OCI tahun 1997, setelah mendapat desakan dari DPR dan kesaksian para korban yang mengalami kekerasan dan perampasan masa kecil.

Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak serta Pemberantasan Perdagangan Orang (Dittipid PPA-PPO) Bareskrim Polri tengah menyelidiki dugaan eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). Kasus ini mencuat kembali setelah bertahun-tahun terpendam, berawal dari laporan yang diajukan pada tahun 1997. Penyelidikan melibatkan koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan upaya pencarian data laporan dari arsip kepolisian.
Brigjen Pol. Nurul Azizah, Dirtipid PPA-PPO Bareskrim Polri, menyatakan kesulitan dalam menemukan data laporan tahun 1997 karena lamanya waktu. Pihaknya telah mengirimkan surat ke bagian terkait di kepolisian untuk mendapatkan data tersebut. Meskipun demikian, proses penyelidikan terus berjalan, menunjukkan komitmen Polri dalam mengungkap kasus ini.
Desakan untuk membuka kembali kasus ini datang dari Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso. Desakan ini muncul setelah audiensi dengan para korban dugaan eksploitasi sirkus OCI. Komnas HAM mencatat bahwa penyelidikan kasus ini sebelumnya dihentikan pada tahun 1999 oleh kepolisian. Langkah DPR ini memberikan momentum baru bagi para korban untuk mendapatkan keadilan.
Kesaksian Korban dan Dugaan Eksploitasi
Salah satu korban, yang bernama Lisa, mengungkapkan pengalaman pahitnya. Ia diambil oleh Jansen Manansang, pemilik OCI, sekitar tahun 1976 ketika masih balita. Lisa dipisahkan dari orang tuanya dan dipaksa menjadi pemain sirkus. "Saya takut, saya nangis, saya minta pulang saat itu, tapi enggak dikasih. Saya dibawa ke dalam seperti karavan gelap. Saya nangis, saya cari mama saya," ungkap Lisa.
Lisa menceritakan kekerasan yang kerap terjadi selama latihan jika ada kesalahan. Ia dan anak-anak lainnya tidak digaji, tidak disekolahkan, dan hanya mendapatkan pendidikan dasar menulis dan berhitung dari karyawan sirkus, bukan pendidikan formal. "Dan kita tidak dapat gaji, tidak pernah disekolahkan, hanya belajar itu menulis dan menghitung aja. Itu bukan homeschooling yang ngajarin, itu karyawati," tambahnya.
Lisa hidup di lingkungan sirkus OCI hingga usia 19 tahun. Hingga saat ini, ia mengaku belum mengetahui identitas aslinya dan orang tuanya. Kisah Lisa menjadi gambaran penderitaan yang dialami para korban eksploitasi di sirkus OCI, yang selama ini terabaikan.
Upaya Penyelidikan dan Koordinasi
Bareskrim Polri menyatakan komitmennya untuk mengungkap kasus ini dengan melakukan berbagai upaya. Selain mencari data laporan tahun 1997, pihaknya juga berkoordinasi dengan Kemen PPPA. Kerja sama antar lembaga ini diharapkan dapat mempermudah proses penyelidikan dan memberikan dukungan bagi para korban.
Proses pencarian data laporan dari arsip kepolisian memerlukan waktu dan ketelitian. Namun, desakan dari DPR dan kesaksian para korban memberikan dorongan kuat bagi Bareskrim Polri untuk menyelesaikan kasus ini. Langkah ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi para korban eksploitasi dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Polri juga menekankan pentingnya perlindungan anak dan pencegahan perdagangan orang. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan dan perlindungan terhadap anak-anak, terutama mereka yang rentan terhadap eksploitasi.
Kesimpulannya, kasus dugaan eksploitasi di sirkus OCI kembali menjadi sorotan setelah sekian lama. Upaya penyelidikan yang dilakukan Bareskrim Polri, dengan dukungan dari DPR dan Kemen PPPA, diharapkan dapat mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi para korban.