Bawaslu DIY Setuju: Perlu Jeda Pemilu dan Pilkada untuk Demokrasi yang Lebih Baik
Bawaslu DIY mendukung usulan KPU RI tentang perlunya jeda waktu antara Pemilu dan Pilkada untuk menghindari tumpang tindih dan menjaga kualitas pelaksanaan pemilu.

Ketua Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Mohammad Najib, menyatakan dukungannya terhadap usulan Ketua KPU RI, Afifuddin, terkait pentingnya jeda waktu antara Pemilu dan Pilkada. Hal ini disampaikan Najib di Yogyakarta pada Rabu, 30 April. Usulan tersebut dinilai krusial untuk menjaga kualitas pelaksanaan pemilu dan mencegah tumpang tindih yang dapat menyulitkan penyelenggara pemilu.
Najib menjelaskan bahwa beban kerja yang tinggi dan jadwal yang berdekatan antara Pemilu dan Pilkada membuat proses demokrasi menjadi tidak ideal. Ia menekankan perlunya penataan ulang jadwal pemilu agar lebih proporsional dan efisien. Hal ini untuk memastikan proses pemilu berjalan lancar dan tidak membebani penyelenggara maupun peserta pemilu.
Lebih lanjut, Najib menyoroti dampak negatif dari pelaksanaan Pemilu dan Pilkada dalam waktu yang berdekatan. Menurutnya, hal ini dapat menyebabkan kejenuhan di kalangan pemilih dan minimnya waktu bagi partai politik untuk melakukan konsolidasi dan persiapan menuju Pilkada berikutnya.
Usulan Pengelompokan Pemilu
Untuk mengatasi masalah ini, Najib mengusulkan dua alternatif. Pertama, pengelompokan ulang jenis pemilu. Pemilu Legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dipisahkan dari Pemilu Eksekutif (Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota), sehingga masing-masing dilaksanakan dalam periode yang berbeda. Kedua, pembagian pelaksanaan Pemilu Nasional (DPR RI, DPD RI, dan Presiden) dan Pemilu Lokal (DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota). Dengan demikian, beban kerja dan tahapan pemilu akan lebih seimbang.
Ia menambahkan bahwa idealnya, jeda waktu antara Pemilu dan Pilkada adalah dua tahun. Jeda tersebut memberikan ruang bagi KPU dan Bawaslu untuk melakukan evaluasi dan perbaikan, serta memberikan waktu yang cukup bagi partai politik dan peserta pemilu untuk mempersiapkan diri.
Najib juga menekankan pentingnya waktu yang cukup bagi KPU dan Bawaslu untuk mengelola siklus pemilu secara wajar. Dengan jeda yang memadai, penyelenggara pemilu dapat melakukan tugasnya secara optimal dan memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik dan berkualitas.
Beban Ganda KPU
Sebelumnya, Ketua KPU Afifuddin telah menyoroti kepadatan jadwal Pemilu 2024 yang disebutnya sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah Indonesia, bahkan mungkin dunia. Afifuddin menggambarkan beban KPU saat ini sebagai ‘double burden’, karena harus mempersiapkan Pilkada di tengah kesibukan menyelesaikan tahapan Pemilu Legislatif dan Presiden.
Afifuddin menegaskan bahwa tumpang tindih jadwal Pemilu dan Pilkada menyebabkan KPU bekerja ekstra keras dan berpotensi mengurangi kualitas penyelenggaraan pemilu. Ia berharap adanya jeda waktu yang cukup agar KPU dapat menjalankan tugasnya secara optimal dan terhindar dari beban kerja yang berlebihan.
Dengan adanya dukungan dari Bawaslu DIY, usulan jeda waktu antara Pemilu dan Pilkada semakin mendapat perhatian. Hal ini diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan usulan tersebut dan merumuskan kebijakan yang lebih baik untuk penyelenggaraan pemilu di masa mendatang.
Jeda waktu yang cukup antara Pemilu dan Pilkada bukan hanya penting untuk penyelenggara pemilu, tetapi juga untuk memastikan partisipasi masyarakat yang lebih efektif dan berkualitas. Hal ini akan berdampak positif bagi terciptanya sistem demokrasi yang lebih baik di Indonesia.