Desain Ulang Pemilu: Minimalisir Pelanggaran HAM dan Bebani Penyelenggara
Pakar ilmu politik Unpad, Yusa Djuyandi, menilai desain ulang sistem pemilu serentak dapat meminimalisir pelanggaran HAM dan membebaskan penyelenggara pemilu dari beban kerja yang terlalu berat, dengan usulan pemilu nasional dan daerah dipisah dengan jeda
Usulan perubahan desain sistem pemilu serentak mengemuka untuk meminimalkan potensi pelanggaran HAM. Yusa Djuyandi, pakar ilmu politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), menyoroti perlunya perubahan ini. Ia menyampaikan usulannya pada Senin, 20 Januari 2024, kepada ANTARA di Jakarta.
Menurut Yusa, pemilu serentak yang sekarang diterapkan perlu diubah menjadi pemilu nasional dan daerah yang dijadwalkan terpisah dengan jeda waktu dua tahun. Alasannya? Hal ini dinilai krusial untuk mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu yang selama ini sangat berat. Sistem yang padat menyebabkan potensi kelelahan dan kesalahan yang dapat berujung pada pelanggaran HAM.
Jeda dua tahun tersebut, imbuh Yusa, juga memberikan ruang yang lebih baik bagi partai politik untuk mempersiapkan diri. Persiapan yang lebih matang, baik dalam hal penentuan kandidat maupun pembentukan koalisi, diharapkan mampu menciptakan iklim politik yang lebih kondusif dan terhindar dari potensi konflik.
Meskipun mengusulkan pemisahan pemilu nasional dan daerah, Yusa tetap berpendapat bahwa Pilkada masih dapat dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Ia menekankan bahwa yang perlu diubah adalah sistem penyelenggaraan pemilu nasional, bukan sistem Pilkada.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut memberikan rekomendasi serupa. Pada Rabu, 15 Januari 2024, Komnas HAM di Jakarta mengeluarkan lima rekomendasi, salah satunya adalah desain ulang keserentakan pemilu dan Pilkada. Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah, menyatakan bahwa rekomendasi ini ditujukan untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia petugas pemilu.
Rekomendasi Komnas HAM dan usulan Yusa Djuyandi sejalan, yaitu menekankan pentingnya desain ulang sistem pemilu untuk mencegah potensi pelanggaran HAM. Keduanya berfokus pada perlunya mengurangi beban kerja penyelenggara dan memberikan ruang lebih besar bagi partai politik untuk mempersiapkan diri.
Kesimpulannya, perubahan desain sistem pemilu menjadi pemilu nasional dan daerah terpisah dengan jeda dua tahun menjadi solusi yang dipertimbangkan untuk menghindari potensi pelanggaran HAM dan memberikan ruang yang lebih baik bagi penyelenggara dan peserta pemilu. Hal ini juga sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM.