China Desak UNHCR Objektif Soal Warga Uighur di Thailand
Kementerian Luar Negeri China meminta pakar UNHCR bersikap objektif dalam menilai nasib 48 warga Uighur di Thailand yang berisiko dideportasi dan menghadapi potensi penyiksaan di China, mengingat sejarah deportasi serupa dan kondisi kesehatan para tahana

Beijing mendesak badan pengungsi PBB, UNHCR, untuk bersikap objektif dalam menangani kasus puluhan warga Uighur di Thailand. Pernyataan ini muncul setelah UNHCR menyerukan penghentian deportasi 48 warga Uighur ke China, dengan kekhawatiran akan potensi penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Pernyataan tersebut disampaikan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, dalam konferensi pers di Beijing pada 22 Januari 2024.
Mao Ning menekankan pentingnya para ahli PBB menjalankan mandat mereka secara adil dan objektif, sesuai prinsip Piagam PBB. Ia mengkritik pernyataan UNHCR yang dinilai tidak bertanggung jawab. Menurutnya, masalah kepulangan warga Uighur merupakan urusan hukum antara dua negara berdaulat. China secara konsisten menolak imigrasi ilegal dan segala upaya yang mendukungnya.
UNHCR sebelumnya telah menyatakan keprihatinan serius terkait rencana deportasi. Mereka menyebutkan risiko penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi yang mungkin dialami para warga Uighur jika dipulangkan ke China. Kekhawatiran ini diperkuat oleh laporan mogok makan yang dilakukan para tahanan sejak 10 Januari sebagai protes terhadap rencana deportasi. UNHCR juga menyoroti kondisi kesehatan 23 dari 48 warga Uighur yang menderita penyakit serius seperti diabetes, gagal ginjal, dan penyakit jantung.
Lebih lanjut, Mao Ning menyatakan bahwa China sebagai negara hukum akan menangani masalah ini dengan memperkuat penegakan hukum internasional dan kerja sama keamanan. Ia juga menekankan pentingnya para pakar PBB mematuhi Kode Etik, dan memastikan pernyataan atau tindakan mereka tidak mengganggu kedaulatan negara anggota PBB dan kerja sama peradilan internasional. China menganggap kasus ini sebagai masalah hukum bilateral dan menegaskan penolakannya terhadap imigrasi ilegal.
Ke-48 warga Uighur tersebut merupakan bagian dari kelompok sekitar 350 orang yang ditahan di Thailand sejak 2014 setelah masuk secara ilegal dari perbatasan China-Thailand. Mereka ditahan tanpa akses komunikasi, pengacara, keluarga, atau perwakilan dari OHCHR dan UNHCR selama lebih dari satu dekade. Lima di antara mereka dilaporkan meninggal dalam penahanan, termasuk dua bayi dan seorang anak berusia tiga tahun akibat kondisi penahanan yang tidak memadai.
UNHCR menyerukan agar Thailand menempatkan tahanan non-kriminal secara terpisah dalam kondisi layak, dengan akses layanan hukum dan medis, serta kunjungan dari badan pemantau HAM independen. Mereka juga mendesak akses komunikasi bagi para tahanan dengan pengacara dan badan PBB terkait. Kekhawatiran akan deportasi meningkat setelah otoritas Thailand dilaporkan memberikan dokumen 'pemulangan sukarela' pada 8 Januari.
Thailand bukan negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan tidak mengakui suaka. Sejarah Thailand menunjukkan deportasi pengungsi ke negara asal, termasuk deportasi 100 warga Uighur ke China pada 2015. Situasi ini menyoroti dilema hukum dan kemanusiaan yang kompleks, di mana perlindungan pengungsi dan penegakan hukum berbenturan dengan kebijakan negara masing-masing.