DPR RI Soroti 25 PSU Pilkada, Desak Kewenangan Bawaslu Diperluas untuk Pemilu Lebih Baik
Anggota Komisi II DPR RI mendesak Kewenangan Bawaslu Diperluas, menyusul temuan 25 kasus PSU Pilkada akibat kinerja penyelenggara yang amburadul. Akankah ini jadi solusi?

Anggota Komisi II DPR RI, H.M. Taufan Pawe, baru-baru ini menyuarakan dukungan penuh terhadap perluasan kewenangan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Usulan ini muncul dalam Rapat Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilu yang diselenggarakan di Makassar, Sulawesi Selatan. Taufan Pawe menekankan pentingnya Bawaslu memiliki otoritas lebih luas agar dapat bekerja secara mandiri dan tanpa intervensi.
Dukungan ini didasari oleh evaluasi Komisi II DPR RI terhadap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 yang dinilai amburadul. Salah satu indikatornya adalah lahirnya 25 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di berbagai daerah. Menurut Taufan, sebagian besar putusan PSU ini terjadi karena ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu di lapangan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Komisi II DPR RI mendorong penataan ulang Undang-Undang Pemilu. Tujuannya adalah menyatukan regulasi pemilu, pilkada, dan penyelenggara pemilu dalam satu undang-undang yang komprehensif. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi Bawaslu dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap potensi pelanggaran.
Pentingnya Perluasan Kewenangan Bawaslu
Taufan Pawe menegaskan bahwa Bawaslu harus diperkuat mengingat beratnya tugas pengawasan pemilu dan pilkada. Bawaslu diharapkan dapat diberikan kewenangan yang lebih besar, termasuk dalam hal penindakan terhadap potensi pelanggaran. Hal ini krusial untuk memastikan integritas dan keadilan proses demokrasi.
Evaluasi Komisi II DPR RI menunjukkan banyaknya persoalan dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya. Kondisi ini diperparah dengan adanya putusan MK yang memerintahkan PSU di 25 kabupaten/kota. Fenomena ini mengindikasikan adanya celah dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum pemilu.
Menurut Taufan, putusan MK tersebut sebagian besar disebabkan oleh penyelenggara pemilu yang tidak bekerja sesuai standar profesional. Oleh karena itu, perluasan kewenangan Bawaslu dianggap sebagai solusi strategis untuk meningkatkan akuntabilitas dan kinerja seluruh elemen penyelenggara pemilu.
Memperkuat Bawaslu juga berarti memberikan mereka kapasitas untuk bertindak tegas. Ini termasuk kemampuan untuk melakukan penindakan langsung terhadap pelanggaran. Dengan demikian, diharapkan dapat meminimalisir praktik-praktik curang dan ketidakadilan selama proses pemilihan.
Urgensi Penataan Ulang Undang-Undang Pemilu
Selain perluasan kewenangan Bawaslu, Komisi II DPR RI juga menekankan urgensi penataan ulang Undang-Undang Pemilu. Tujuannya adalah menyelaraskan berbagai regulasi yang ada, termasuk menyikapi putusan MK 135 yang relevan dengan kodifikasi regulasi. Ini akan menciptakan kerangka hukum yang lebih terpadu.
Kodifikasi regulasi pemilu dan pilkada dalam satu undang-undang akan mempermudah implementasi dan penegakan hukum. Saat ini, regulasi yang terpisah-pisah seringkali menimbulkan tumpang tindih dan kebingungan. Hal ini juga dapat menjadi celah bagi pihak-pihak yang ingin melakukan pelanggaran.
Langkah ini diharapkan dapat menciptakan sistem pemilu yang lebih kokoh dan transparan. Dengan regulasi yang jelas dan terintegrasi, seluruh pihak yang terlibat dalam proses pemilu akan memiliki pedoman yang sama. Ini penting untuk mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan demokrasi.
Ketua Bawaslu Kabupaten Maros, Sufirman, menyambut baik inisiatif Komisi II DPR RI ini. Ia menegaskan komitmen Bawaslu untuk terus meningkatkan kinerja dan profesionalitas. Dukungan legislatif ini dianggap krusial untuk menghadapi tantangan pengawasan pemilu yang semakin kompleks di masa mendatang.