DPR Usul MK Diskualifikasi Calon Pelanggar PSU Pilkada: Anggaran Terbatas Jadi Pertimbangan
Komisi II DPR mengusulkan agar MK mendiskualifikasi calon kepala daerah yang melakukan pelanggaran masif dalam PSU pilkada untuk menghemat anggaran dan memastikan kepastian hukum.

Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan sanksi tegas berupa diskualifikasi terhadap calon kepala daerah yang terbukti melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada. Usulan ini disampaikan di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (21/4).
Alasan utama di balik usulan tersebut adalah efisiensi anggaran dan kepastian hukum. Rifqi menekankan bahwa PSU yang berulang justru akan semakin menguras keuangan daerah yang sudah terbatas. "Saya sangat berharap PSU ini dapat mengakhiri ketidakpastian kepemimpinan daerah," ujarnya. Biaya penyelenggaraan PSU, menurutnya, sangat tinggi; kabupaten/kota dengan 200 ribu pemilih saja membutuhkan sekitar Rp20 miliar, dan angka tersebut meningkat seiring jumlah pemilih.
Lebih lanjut, Rifqi menjelaskan bahwa PSU yang berlarut-larut akan mengakibatkan kepala daerah terpilih hanya menjabat kurang dari empat tahun, karena pelantikan yang tertunda. Oleh karena itu, ia menilai diskualifikasi calon pelanggar sebagai solusi yang lebih efektif dan efisien. Dengan mendiskualifikasi calon yang melanggar, maka calon dengan perolehan suara tertinggi selanjutnya dapat langsung ditetapkan sebagai kepala daerah terpilih.
Ancaman Anggaran dan Kepastian Hukum
Usulan Komisi II DPR ini didasari pada pertimbangan anggaran daerah yang terbatas. Biaya penyelenggaraan PSU yang mencapai puluhan miliar rupiah dinilai terlalu besar, terutama bagi daerah dengan kondisi keuangan yang kurang memadai. Hal ini dapat mengganggu program pembangunan dan pelayanan publik lainnya.
Selain itu, usulan ini juga bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dalam pemerintahan daerah. Ketidakpastian kepemimpinan akibat PSU yang berulang dapat menghambat proses pembangunan dan pengambilan keputusan di daerah. Dengan menetapkan calon dengan perolehan suara tertinggi selanjutnya, maka kepastian hukum dapat segera terwujud.
Rifqi juga menekankan pentingnya penegakan hukum kepemiluan agar PSU tidak terus berulang. Ia menyoroti masih banyaknya laporan pelanggaran ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meskipun PSU telah dilaksanakan. Oleh karena itu, pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa mendatang.
Tanggung Jawab Penyelenggara Pemilu
Komisi II DPR meminta seluruh penyelenggara pemilu untuk bertanggung jawab penuh dalam menegakkan hukum kepemiluan. Hal ini penting untuk memastikan Pilkada berjalan dengan jujur, adil, dan demokratis. Penyelenggara pemilu harus mampu mencegah dan menindak tegas segala bentuk pelanggaran yang dapat menghambat proses demokrasi.
Dengan adanya usulan ini, diharapkan MK dapat mempertimbangkan aspek anggaran dan kepastian hukum dalam mengambil keputusan terkait PSU. Diskualifikasi calon pelanggar dapat menjadi solusi yang lebih efektif dan efisien untuk menyelesaikan permasalahan PSU dan memastikan kepemimpinan daerah yang definitif dan berkelanjutan.
Langkah tegas ini juga diharapkan dapat memberikan efek jera bagi calon kepala daerah yang berniat melakukan kecurangan dalam Pilkada. Penegakan hukum yang konsisten dan transparan sangat penting untuk menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia.
Ke depan, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan Pilkada untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan PSU yang berulang. Peningkatan kualitas pengawasan, pendidikan pemilih, dan penegakan hukum merupakan langkah penting untuk mewujudkan Pilkada yang lebih demokratis dan berintegritas.