Eks Kapus Krisis Kemenkes Didakwa Rugikan Negara Rp319 Miliar dalam Kasus Korupsi APD
Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Budi Sylvana, bersama dua terdakwa lain didakwa merugikan negara Rp319,69 miliar terkait korupsi pengadaan APD Covid-19 tahun 2020, melibatkan negosiasi harga dan pembayaran fiktif.
![Eks Kapus Krisis Kemenkes Didakwa Rugikan Negara Rp319 Miliar dalam Kasus Korupsi APD](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/05/000055.987-eks-kapus-krisis-kemenkes-didakwa-rugikan-negara-rp319-miliar-dalam-kasus-korupsi-apd-1.jpg)
Jakarta, 4 Februari 2024 - Kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 pada tahun 2020 kembali mencuat. Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Budi Sylvana, menjadi sorotan setelah didakwa merugikan negara hingga Rp319,69 miliar. Sidang pembacaan surat dakwaan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa lalu. Budi bukanlah satu-satunya yang diadili; dua terdakwa lain, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik, juga turut terlibat dalam kasus ini.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sandy Septi Murhanta Hidayat menyatakan, kerugian negara tersebut berdasarkan laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dakwaan menyebutkan adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Ketiga terdakwa diduga melakukan negosiasi harga APD secara tidak wajar dan tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, khususnya dalam konteks pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam keadaan darurat.
Salah satu poin penting dalam dakwaan adalah negosiasi dan penandatanganan surat pesanan APD sebanyak 170.000 pasang tanpa surat pesanan resmi. Lebih lanjut, terdapat juga negosiasi dan penandatanganan untuk lima juta pasang APD. Mereka juga diduga menerima pinjaman uang dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebesar Rp10 miliar untuk pembayaran 170.000 pasang APD tanpa dokumen pendukung yang lengkap.
Tidak hanya itu, ketiganya juga diduga menerima pembayaran untuk 1,01 juta pasang APD merek BOHO senilai Rp711,28 miliar. Ironisnya, PT EKI, salah satu perusahaan yang terlibat, tidak memiliki kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis di instansi pemerintah dan tidak memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). Lebih jauh, PT EKI dan PT PPM juga diduga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam keadaan darurat karena tidak menyiapkan bukti pendukung kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Akibat perbuatan para terdakwa, negara mengalami kerugian signifikan. Rinciannya, Satrio diuntungkan sebesar Rp59,98 miliar, Ahmad Rp224,19 miliar, PT Yoon Shin Jaya Rp25,25 miliar, dan PT GA Indonesia Rp14,62 miliar. Perbuatan para terdakwa ini, menurut JPU, diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kasus ini bermula dari penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia oleh Kepala BNPB periode 2019-2021, Doni Monardo. Keputusan tersebut, yang berlaku sejak 28 Januari hingga 28 Februari 2020, membebankan biaya penanganan kepada Dana Siap Pakai (DSP) BNPB. Menanggapi permohonan Menteri Kesehatan periode 2019-2020, Terawan Agus Putranto, mengenai dukungan pembiayaan dan logistik penanganan Covid-19, Sekretaris Utama BNPB periode 2019-2020, Harmensyah, menyarankan agar dana DSP diserahkan kepada PPK Kemenkes.
Setelah beberapa pergantian pejabat PPK, Budi Sylvana akhirnya ditunjuk pada 27 Maret 2020. Sebuah rapat di Gedung Graha BNPB kemudian membahas penagihan pembayaran 170.000 pasang APD oleh PT EKI. Negosiasi harga pun terjadi, menghasilkan kesepakatan harga 48,4 dolar AS per pasang. Harmensyah juga memerintahkan agar pembayaran APD dari PT PPM segera dilakukan. Budi kemudian menerbitkan Surat Pesanan Nomor: KK.02.01/1/460/2020 tanggal 28 Maret 2020, meskipun PT EKI tidak memiliki kualifikasi dan izin yang dibutuhkan. Bahkan, kontrak fiktif dibuat untuk melegalkan PT EKI sebagai distributor resmi APD merek BOHO.
Kesimpulannya, kasus ini menunjukan adanya celah dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dapat dimanfaatkan untuk tindakan korupsi, terutama dalam situasi darurat. Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat mengungkap seluruh fakta dan memberikan keadilan bagi negara serta masyarakat.