Eks Pejabat Pajak, Muhamad Haniv, Diperiksa KPK Terkait Gratifikasi Rp21,5 Miliar
Mantan Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus, Muhamad Haniv, diperiksa KPK terkait kasus dugaan penerimaan gratifikasi Rp21,5 miliar yang diduga terjadi selama periode 2015-2018.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 7 Maret 2024, memeriksa Muhamad Haniv (MH), mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus periode 2015-2018. Pemeriksaan ini terkait penyidikan dugaan penerimaan gratifikasi sebesar Rp21,5 miliar yang diduga diterima Haniv selama menjabat. Pemeriksaan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK dan Haniv meninggalkan gedung sekitar pukul 13.16 WIB tanpa memberikan komentar kepada awak media.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, membenarkan pemeriksaan tersebut. KPK sebelumnya telah menetapkan Haniv sebagai tersangka pada Selasa, 25 Februari 2024. Dugaan penerimaan gratifikasi ini terjadi selama periode 2015-2018, saat Haniv menjabat sebagai Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur, menjelaskan kronologi dan rincian dugaan penerimaan gratifikasi tersebut.
Menurut keterangan KPK, Haniv diduga memanfaatkan jabatan dan relasinya untuk mencari sponsor guna membiayai bisnis anaknya. Ia diduga mengirimkan surel kepada sejumlah pengusaha yang merupakan wajib pajak, meminta bantuan modal. Salah satu gratifikasi yang diterima diduga untuk keperluan bisnis peragaan busana anaknya, senilai Rp804 juta. Namun, penyidikan KPK menemukan bukti tambahan berupa penerimaan uang dalam jumlah besar yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya oleh Haniv.
Dugaan Penerimaan Gratifikasi dan Kronologi Kasus
KPK menduga Haniv menerima gratifikasi tidak hanya untuk membiayai fashion show anaknya. Selain Rp804 juta untuk keperluan fashion show, KPK juga menemukan bukti penerimaan uang dalam bentuk valuta asing (valas) sebesar Rp6.665.006.000 dan penempatan dana di deposito BPR senilai Rp14.088.834.634. Total penerimaan gratifikasi yang diduga diterima Haniv mencapai setidaknya Rp21.560.840.634 atau sekitar Rp21,5 miliar.
Modus operandi yang digunakan Haniv diduga memanfaatkan posisinya sebagai pejabat pajak untuk meminta bantuan dana kepada wajib pajak. Hal ini menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi. KPK terus mengembangkan penyidikan untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini.
Proses hukum terhadap Haniv akan terus berjalan. KPK akan mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan saksi untuk memperkuat dakwaan. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas di lingkungan perpajakan.
Pasal yang Dilagar dan Sanksi Hukum
Haniv ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal ini mengatur tentang penerimaan gratifikasi oleh pejabat negara. Ancaman hukuman yang dihadapi Haniv cukup berat, mengingat jumlah gratifikasi yang diduga diterimanya cukup signifikan.
Pemeriksaan terhadap Haniv menjadi bagian dari upaya KPK untuk memberantas korupsi di Indonesia. KPK berkomitmen untuk menindak tegas setiap pelaku korupsi, tanpa pandang bulu. Kasus ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
Proses hukum akan terus berlanjut, dan publik menunggu perkembangan selanjutnya dari kasus ini. KPK akan terus berupaya mengungkap seluruh fakta dan memastikan keadilan ditegakkan.
Kasus ini juga menjadi sorotan publik, mengingat jabatan Haniv yang strategis di Direktorat Jenderal Pajak. Publik berharap KPK dapat mengungkap seluruh jaringan dan aktor yang terlibat dalam kasus ini.
Kesimpulan
Pemeriksaan Muhamad Haniv oleh KPK merupakan langkah penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan akuntabilitas di lingkungan perpajakan, dan diharapkan menjadi pembelajaran bagi pejabat publik lainnya.