Eks Pemain Sirkus OCI Desak Penyelesaian Kasus Eksploitasi Lewat UU Pengadilan HAM
Mantan pemain sirkus OCI menuntut keadilan atas dugaan eksploitasi dan kekerasan yang dialami melalui UU Pengadilan HAM, meskipun kasus telah lama ditutup kepolisian.

Jakarta, 21 April 2024 - Kuasa hukum mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), Muhammad Sholeh, mendesak penyelesaian kasus dugaan eksploitasi dan kekerasan yang dialami kliennya dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Permintaan ini disampaikan setelah upaya hukum sebelumnya menemui jalan buntu.
Pernyataan tersebut disampaikan Sholeh dalam rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR bersama para mantan pemain sirkus OCI, pihak Taman Safari Indonesia, dan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Barat, Kombes Pol. Surawan. Sholeh menegaskan bahwa para mantan pemain sirkus merasa belum mendapatkan keadilan atas dugaan kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami selama bertahun-tahun.
Kekecewaan semakin bertambah karena pihak OCI membantah tuduhan tersebut di media. "Kalau ada iktikad baik dari OCI maupun Taman Safari, kami akan terima, tetapi kalau dilihat dari sambutan jawaban di media, kok menurut saya kecil untuk bisa (menerima), sebab mereka (korban) juga sangat tersakiti karena jawabannya tidak mengakui," ujar Sholeh.
Kasus Eksploitasi dan Pelanggaran HAM
Meskipun mengakui sulitnya membuktikan kekerasan fisik, Sholeh berpendapat ada bukti kuat pelanggaran HAM berat yang dilakukan OCI. Ia menunjuk pada pemisahan anak-anak dari orang tua mereka sejak usia dini sebagai bukti perbudakan dan eksploitasi. "Oke lah soal kekejaman pembuktiannya susah, tetapi diambil sejak kecil, dipisahkan dengan orang tua itu pembuktiannya mudah dan mereka mengakui itu, dan ini pelanggaran HAM berat. Apalagi di dalamnya terjadi perbudakan," tegasnya.
Sholeh juga menyoroti Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan kepolisian pada tahun 1999 atas laporan serupa pada tahun 1997. Ia khawatir Komisi III DPR akan mengabaikan kasus ini dan menyerahkannya kembali kepada kepolisian. "Kasus ini sudah pernah di SP3 oleh pihak kepolisian dan itu sungguh mengecewakan buat kami, 1997 dilaporkan, 1999 SP3, tanpa pelapor juga dikasih tahu," keluhnya.
Oleh karena itu, Sholeh berharap UU Pengadilan HAM dapat digunakan untuk menuntaskan kasus ini, mengingat UU tersebut tidak mengenal kedaluwarsa. "Undang-undang ini tidak mengenal kedaluwarsa, bisa dibuka," katanya ditemui usai rapat.
Rekomendasi Komisi III DPR dan Jalan Tengah
Menanggapi hal tersebut, Komisi III DPR RI merekomendasikan penyelesaian polemik antara mantan pemain OCI dan Taman Safari Indonesia melalui jalur kekeluargaan dalam waktu tujuh hari. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menjelaskan bahwa jalur hukum formal dinilai sulit karena kasus tersebut telah kedaluwarsa berdasarkan laporan tahun 1997 dan SP3 tahun 1999.
"Kasih waktu kalau tujuh hari, kalau tidak diberikan ruang yang baik, bapak laporkan lagi (ke kepolisian), nanti kami yang pantau urusannya," kata Sahroni. Ia menekankan pentingnya mencari solusi di luar jalur hukum formal, meskipun kasus tersebut telah dinyatakan kedaluwarsa. "Kalau lewat penegakan hukum pasti enggak akan pernah ketemu, apa pun karena kondisinya pasti kedaluwarsa, tapi di sini kita jangan mentang-mentang 'wah, sudah kedaluwarsa', jadi enggak bisa," ujarnya.
Langkah Komisi III DPR ini menawarkan jalan tengah, berupa mediasi antara kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan. Namun, desakan mantan pemain sirkus OCI untuk menggunakan UU Pengadilan HAM menunjukkan betapa kuatnya keinginan mereka untuk mendapatkan keadilan atas dugaan pelanggaran HAM yang telah mereka alami.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai jalur penyelesaian yang tepat, fokus utama tetap pada upaya untuk memberikan keadilan kepada para korban dugaan eksploitasi dan kekerasan. Hasil mediasi yang akan dilakukan dalam tujuh hari mendatang akan menentukan langkah selanjutnya dalam kasus ini.