Fakta Mengejutkan: Industri Tekstil dan Alas Kaki Indonesia Paling Terpukul Dampak Tarif Impor AS 19% Mulai 2025
Indef memprediksi industri tekstil dan alas kaki akan paling merasakan dampak tarif impor AS sebesar 19% mulai 1 Agustus 2025. Bagaimana Indonesia akan bersaing?

Pemberlakuan tarif impor sebesar 19 persen oleh Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk Indonesia diproyeksikan akan memberikan pukulan telak. Kebijakan ini akan mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Agustus 2025 mendatang. Sektor industri tekstil, garmen, dan alas kaki diidentifikasi sebagai yang paling rentan terhadap kebijakan tersebut.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) telah menyampaikan peringatan serius mengenai potensi dampak ini. Ahmad Heri Firdaus, seorang peneliti dari Indef Center for Industry, Trade, and Investment, menyoroti kerentanan sektor-sektor tersebut. Industri ini merupakan kontributor ekspor terbesar ke AS dan menyerap banyak tenaga kerja.
Ketergantungan Indonesia pada pasar AS untuk produk tekstil dan alas kaki menjadi sorotan utama. Firdaus menekankan perlunya upaya serius untuk menata ulang strategi pasar di Amerika Serikat. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan pelaku industri di Tanah Air.
Mengapa Tekstil dan Alas Kaki Paling Terdampak?
Menurut Indef, alasan utama mengapa industri tekstil, garmen, dan alas kaki akan paling merasakan dampak tarif ini sangat jelas. Sektor-sektor ini merupakan penyumbang terbesar ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat. Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar tersebut menjadikan mereka sangat rentan terhadap perubahan kebijakan.
Selain itu, industri-industri ini dikenal sebagai sektor padat karya, baik di sektor formal maupun informal. Jutaan pekerja menggantungkan hidupnya pada kelangsungan bisnis di bidang ini. Oleh karena itu, dampak tarif akan merembet luas hingga ke sektor ketenagakerjaan.
Ahmad Heri Firdaus dari Indef menegaskan bahwa Indonesia sangat bergantung pada pasar AS untuk produk-produk ini. Ini menuntut adanya pemikiran ulang terhadap strategi pemasaran dan produksi. Tanpa adaptasi, daya saing produk Indonesia akan semakin tergerus.
Tantangan Daya Saing dan Efisiensi Produksi
Dalam hal daya saing, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara pesaing utama. Vietnam, India, Bangladesh, dan Malaysia menjadi contoh negara yang berhasil menerapkan efisiensi biaya produksi. Hal ini memungkinkan mereka menjaga stabilitas harga produk di pasar AS meski menghadapi tarif.
Efisiensi produksi mencakup berbagai aspek penting, mulai dari biaya bahan baku hingga logistik dan transportasi. Negara-negara kompetitor telah berhasil mengoptimalkan biaya-biaya ini. Akibatnya, harga jual produk mereka di AS tetap kompetitif, bahkan setelah dikenakan tarif.
Firdaus menjelaskan bahwa kondisi ini akan membuat produk Indonesia kesulitan bersaing dari sisi harga. Apabila biaya produksi tidak dapat ditekan, harga jual akan menjadi lebih tinggi. Ini tentu akan mengurangi minat pembeli di pasar Amerika Serikat.
Mencari Keunggulan Komparatif Baru
Meskipun industri tekstil dan alas kaki menghadapi tantangan besar, Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif di sektor lain. Contohnya adalah produk turunan kelapa sawit yang memiliki posisi unik di pasar global. Produk ini tidak tersedia di banyak negara lain, hanya di Indonesia dan Malaysia.
Keunggulan ini memberikan keuntungan signifikan bagi Indonesia, karena permintaan terhadap produk tersebut tetap tinggi. Sektor-sektor dengan keunggulan komparatif semacam ini perlu terus dikembangkan. Diversifikasi ekspor menjadi kunci untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis industri.
Firdaus menambahkan bahwa fokus pada industri yang memiliki keunggulan komparatif dapat menjadi strategi mitigasi. Ini akan membantu menyeimbangkan potensi dampak negatif dari tarif impor AS. Dengan demikian, ekonomi Indonesia dapat lebih resilient terhadap guncangan eksternal.