Gambut dan Mangrove: Kunci Pengurangan Emisi GRK di Asia Tenggara
Penelitian gabungan menemukan bahwa pelestarian dan restorasi ekosistem gambut dan mangrove di Asia Tenggara berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 770 megaton CO2e per tahun.
![Gambut dan Mangrove: Kunci Pengurangan Emisi GRK di Asia Tenggara](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/05/140615.290-gambut-dan-mangrove-kunci-pengurangan-emisi-grk-di-asia-tenggara-1.jpg)
Ekosistem Gambut dan Mangrove sebagai Penyerap Karbon
Sebuah temuan penting datang dari tim peneliti gabungan Indonesia, Singapura, dan Australia. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa ekosistem gambut dan mangrove memegang peranan kunci dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Asia Tenggara. Para peneliti menemukan bahwa melestarikan dan merehabilitasi ekosistem ini dapat mengurangi emisi hingga 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun. Angka ini hampir dua kali lipat dari total emisi GRK Malaysia di tahun 2023, meskipun kedua ekosistem ini hanya mencakup 5,4 persen dari luas daratan Asia Tenggara.
Potensi Mitigasi Perubahan Iklim di Asia Tenggara
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Communications ini menganalisis perubahan penggunaan lahan antara tahun 2001 hingga 2022. Hasilnya menunjukkan bahwa Asia Tenggara berkontribusi sekitar sepertiga dari emisi karbon global akibat perubahan tata guna lahan, sebagian besar berasal dari hutan rawa gambut tropis dan mangrove, termasuk akibat kebakaran hutan dan lahan. Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menjadi tiga negara penyumbang emisi terbesar di kawasan ini, dengan total kontribusi lebih dari 90 persen.
Namun, Indonesia, dengan luas hutan mangrove mencapai 3,4 juta hektare dan lahan gambut seluas 13,4 juta hektare, memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar. Hal ini memberikan peluang signifikan bagi Indonesia untuk mengurangi emisi GRK melalui konservasi dan restorasi ekosistem gambut dan mangrove.
Karakteristik Ekosistem Gambut dan Mangrove
Menurut Haruni Krisnawati, staf ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim yang terlibat dalam penelitian ini, gambut dan mangrove memiliki kesamaan karakteristik fisik dan ekologi. Keduanya memiliki tanah yang jenuh air dan rendah oksigen, sehingga mengurangi laju dekomposisi bahan organik. Kondisi ini menjadikan kedua ekosistem tersebut sebagai penyerap karbon yang sangat efektif, menyimpan sejumlah besar karbon di dalam tanahnya.
Lebih dari 90 persen cadangan karbon tersimpan di dalam tanah, bukan pada vegetasi di atasnya. Fakta ini menyoroti kerentanan karbon tersimpan terhadap aktivitas manusia. Hilangnya karbon dari ekosistem ini sulit dipulihkan, sehingga upaya konservasi dan restorasi menjadi sangat krusial.
Solusi Alami untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Penelitian ini melibatkan kolaborasi peneliti dari berbagai institusi ternama, termasuk Nanyang University Singapura, James Cook University Australia, Nanyang Technological University Singapura, Queensland University Australia, Institut Pertanian Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kehutanan, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Hasil penelitian ini menekankan pentingnya ekosistem gambut dan mangrove sebagai solusi alami untuk mitigasi perubahan iklim.
Dengan kemampuannya sebagai penyerap karbon yang efisien, kedua ekosistem ini dapat membantu negara-negara di Asia Tenggara mencapai target nol emisi karbon. Upaya pelestarian dan restorasi ekosistem gambut dan mangrove bukan hanya penting untuk lingkungan, tetapi juga untuk masa depan keberlanjutan planet kita.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan bukti kuat tentang peran penting ekosistem gambut dan mangrove dalam mengurangi emisi GRK di Asia Tenggara. Konservasi dan restorasi kedua ekosistem ini merupakan langkah strategis untuk mencapai target iklim global dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi kawasan ini. Indonesia, sebagai negara dengan luasan ekosistem gambut dan mangrove terbesar, memiliki tanggung jawab dan peluang besar untuk memimpin upaya ini.