GUPBI Usul Manfaatkan Babi Tekan Sampah di Bali: Solusi Unik atau Tantangan Baru?
Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali mengusulkan solusi unik untuk mengurangi sampah dengan memanfaatkan babi sebagai pengolah sampah organik, namun usulan ini menimbulkan tantangan tersendiri.

Denpasar, 22 April 2024 - Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali mengajukan usulan inovatif kepada pemerintah daerah: memanfaatkan babi untuk mengurangi volume sampah. Usulan ini muncul sebagai respon terhadap permasalahan sampah yang terus meningkat di Bali, khususnya sampah organik dari sisa makanan rumah tangga dan pasar. Ketua GUPBI Bali, I Ketut Hari Suyasa, memaparkan gagasan ini sebagai solusi yang berpotensi mengurangi beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Menurut Suyasa, seekor babi membutuhkan sekitar tiga kilogram makanan per hari. Makanan ini dapat diperoleh dari sisa makanan dapur rumah tangga, sehingga mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA. "Bayangkan jika di setiap kota keluarga memelihara seekor babi," kata Suyasa, "maka pencarian sisa makanan akan mengurangi sampah yang dibuang secara signifikan."
Lebih jauh, Suyasa juga menyoroti potensi besar dari sampah pasar berupa buah dan sayur yang mencapai dua ton per hari. Sampah ini, jika diolah dengan tepat, dapat menjadi pakan ternak babi yang bernilai ekonomi. Ia menambahkan bahwa teknologi pengolahan pakan ternak babi telah berkembang, sehingga masalah bau dapat diminimalisir. Terkait pencemaran lingkungan, Suyasa berpendapat bahwa kotoran babi tidak jauh berbeda dengan kotoran hewan peliharaan lainnya.
Mengurangi Sampah dan Menghidupkan Kembali Tradisi
GUPBI Bali melihat usulan ini tidak hanya sebagai solusi lingkungan, tetapi juga sebagai upaya untuk menghidupkan kembali tradisi peternakan babi rumahan di Bali. Tradisi ini, menurut Suyasa, memiliki nilai budaya dan adat yang penting, terutama dalam konteks upacara keagamaan seperti Galungan. Dengan semakin berkurangnya peternak babi rumahan, tradisi mepatung (patungan desa adat membeli babi) mulai tergerus.
Saat ini, dari 27.000 anggota GUPBI Bali, hanya separuhnya yang merupakan peternak rumahan, dan mereka sebagian besar berada di daerah pedesaan. Di kota-kota seperti Denpasar dan Badung, peternak babi rumahan sudah sangat jarang ditemui. Kondisi ini menyebabkan sulitnya mendapatkan pasokan babi, dan berdampak pada tradisi mepatung yang semakin memudar.
"Dahulu, desa adat akan membeli babi untuk mepatung dari warga peternak," jelas Suyasa. "Namun, dengan berkurangnya peternak rumahan, semangat gotong royong dalam mengolah babi bersama di hari raya pun ikut hilang."
Tantangan dan Pergeseran Budaya
Suyasa mencatat bahwa peternak rumahan paling banyak tersebar di Klungkung, Karangasem, Jembrana, dan Bangli. Sementara itu, di Denpasar dan Badung, jumlahnya semakin sedikit. Akibatnya, masyarakat cenderung membeli daging babi potong dengan harga yang lebih mahal, yaitu sekitar Rp120.000 per kilogram, atau dua kali lipat dari harga mepatung.
"Masyarakat menganggap cara mepatung ribet," ujar Suyasa. "Budaya ini mulai bergeser, dan orang-orang lebih memilih cara praktis. Sekarang, babi hanya dibeli untuk upacara, dan daging ayam misalnya, lebih sering dikonsumsi sehari-hari."
Usulan GUPBI Bali ini tentu menarik perhatian. Namun, implementasinya memerlukan perencanaan matang dan mengatasi berbagai tantangan, termasuk edukasi masyarakat, pengelolaan limbah ternak, dan adaptasi terhadap kondisi perkotaan. Apakah usulan ini akan menjadi solusi efektif untuk mengurangi sampah di Bali, atau justru menimbulkan tantangan baru, masih perlu dikaji lebih lanjut.