Indonesia Menuju Negara Berpenghasilan Tinggi: Tantangan dan Strategi Menuju 2045
Ambisi Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045 membutuhkan peningkatan produktivitas nasional dan pertumbuhan perusahaan menengah-besar, serta reformasi struktural di berbagai sektor.

Indonesia memiliki ambisi besar untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Namun, pencapaian ini membutuhkan lebih dari sekadar pertumbuhan ekonomi bertahap; diperlukan transformasi struktural besar-besaran dalam lanskap ekonomi nasional. Tantangan ini membutuhkan peran serta seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Laporan McKinsey Global Institute memaparkan peta jalan praktis untuk mencapai tujuan tersebut. Peta jalan ini menekankan pentingnya peningkatan produktivitas nasional secara signifikan dan perluasan jumlah perusahaan menengah dan besar hingga tiga kali lipat. Laporan tersebut, "The Enterprising Archipelago: Propelling Indonesia's Productivity," mengidentifikasi pertumbuhan rasio modal per pekerja sebagai faktor penentu utama.
Pertumbuhan rasio ini harus didukung oleh sektor bisnis yang kompetitif, yang pada gilirannya akan meningkatkan jumlah perusahaan menengah dan besar. Meskipun Indonesia berada di peringkat ke-16 dunia dalam hal PDB nominal, pertanyaan utamanya bukanlah seberapa kaya Indonesia, melainkan bagaimana potensi tersebut dapat diubah menjadi produktivitas yang signifikan.
Meningkatkan Produktivitas dan Pertumbuhan Perusahaan
Indonesia telah berjuang melawan kemiskinan ekstrem selama lebih dari empat dekade, yang masih menjadi hambatan utama pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi, produktivitas tenaga kerja tahunan harus ditingkatkan dari 3,1 persen (sejak tahun 2000) menjadi 4,9 persen. Negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki pendapatan per kapita minimal US$14.000.
Selain efisiensi kerja, Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah dalam rantai ekonomi yang semakin kompleks dan kompetitif. Perusahaan-perusahaan yang mampu tumbuh, mengadopsi teknologi, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan berekspansi di berbagai sektor dan wilayah sangat dibutuhkan. Kurangnya perusahaan seperti ini menunjukkan kelemahan struktur insentif ekonomi nasional.
Iklim bisnis yang kurang mendukung menghambat pertumbuhan usaha kecil dan menengah. Hambatan administratif, skema pendanaan yang terbatas, dan regulasi yang tidak konsisten, membatasi pertumbuhan bisnis skala besar.
Revolusi Institusional untuk Mendukung Pertumbuhan
Untuk menggandakan jumlah perusahaan besar, diperlukan revolusi kelembagaan. Birokrasi harus diubah menjadi pendorong pertumbuhan, bukan hambatan. Chris Bradley dari McKinsey Global Institute menyatakan bahwa Indonesia perlu melipatgandakan jumlah perusahaan menengah dan besar untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas dan mendorong pertumbuhan sektor bernilai tambah tinggi, khususnya manufaktur, pertanian, dan jasa.
Khoon Tee Tan, Managing Partner McKinsey & Company Indonesia, menekankan pentingnya lima jenis modal: sistem keuangan yang kuat, sistem pendidikan yang solid, peraturan yang ramah bisnis, infrastruktur kelas dunia, dan ekosistem yang mendukung startup dan usaha kecil. Indonesia perlu memanfaatkan kelima modal ini secara terkoordinasi.
Laporan ini menyoroti pentingnya koordinasi dan sinergi kelima jenis modal tersebut. Tidak cukup hanya memiliki modal-modal tersebut, tetapi juga bagaimana memanfaatkannya secara efektif dan efisien.
Reformasi Keuangan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Sistem keuangan Indonesia terlalu bergantung pada bank konvensional, mengabaikan kebutuhan dunia usaha modern. Pengembangan pasar kredit swasta dan pasar modal sangat penting untuk pertumbuhan startup. Reformasi struktur pembiayaan dan insentif fiskal yang progresif sangat mendesak untuk membebaskan perusahaan dari tekanan likuiditas.
Indonesia perlu memperbaiki kesenjangan antara kebutuhan industri dan keterampilan yang dihasilkan sistem pendidikan. Dibutuhkan individu yang fleksibel, adaptif, dan kreatif. Perguruan tinggi harus berperan aktif dalam mengatasi masalah ini dengan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Mengatasi Hambatan Kelembagaan dan Infrastruktur
Hambatan kelembagaan berupa peraturan yang tidak sinkron, proses perizinan yang rumit, dan ketidakpastian hukum perlu diatasi. Penyederhanaan regulasi penting untuk menarik investasi global. Pemerintah harus menjamin konsistensi regulasi dan menjadi mitra yang andal bagi dunia usaha.
Infrastruktur digital menjadi tulang punggung ekonomi modern. Konektivitas internet yang memadai sangat penting untuk mengurangi kesenjangan antara bisnis di pusat kota dan daerah terpencil. Pengembangan infrastruktur spasial dan digital yang seimbang, terutama di luar Jawa, sangat penting.
Modal kewirausahaan Indonesia perlu didukung dengan mekanisme pembiayaan inovatif seperti modal ventura dan ekuitas swasta. Pemerintah harus memandang startup sebagai pilar ekonomi masa depan, bukan sekadar tren gaya hidup digital.
Menuju status negara berpenghasilan tinggi bukanlah narasi retorika, melainkan proses yang berat dan membutuhkan keputusan yang sulit. Mengutamakan kepentingan politik atas pertumbuhan ekonomi justru kontraproduktif. Membiarkan birokrasi yang tidak efisien akan merugikan generasi mendatang.
Indonesia perlu menciptakan iklim bisnis yang kompetitif, memberdayakan usaha lokal untuk go global, dan memanfaatkan kelima jenis modal secara harmonis dan konsisten. Inilah kunci keberhasilan Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi.