Indonesia Perangi Kusta: Tantangan dan Harapan Menuju Eliminasi 2030
Peringatan Hari Kusta Sedunia dan Hari Penyakit Tropis Terabaikan Sedunia 2025 menyoroti perjuangan Indonesia dalam mengeliminasi kusta, termasuk tantangan stigma, keterbatasan sumber daya, dan perubahan indikator eliminasi oleh WHO.

Indonesia masih berjuang keras melawan kusta. Di penghujung Januari, tepatnya pada tanggal 26 Januari diperingati Hari Kusta Sedunia dan 30 Januari Hari Penyakit Tropis Terabaikan Sedunia. Peringatan ini menjadi momentum penting untuk membahas upaya eliminasi kusta di Indonesia.
Tahun 2025, tema Hari Kusta Sedunia adalah 'Unite. Act. Eliminate.' Tema ini mengajak kita semua untuk bersatu, bertindak, dan mengeliminasi kusta, termasuk stigma negatif yang melekat padanya. Ini penting karena dampak kusta tak hanya kesehatan, tetapi juga ekonomi dan sosial.
Penyakit tropis terabaikan (NTD), termasuk kusta, menjadi ancaman serius. WHO mencatat lebih dari satu miliar orang terdampak NTD secara global, dan diperkirakan 1,6 miliar membutuhkan intervensi. Di Indonesia, 11 dari 21 NTD endemik, salah satunya kusta. Kemenkes memperkirakan sekitar 80 juta orang Indonesia atau 29 persen populasi terdampak NTD.
Indonesia berada di peringkat tiga dunia dengan kasus kusta baru tahun 2023, setelah India dan Brasil. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Ina Agustina Isturini, menyampaikan bahwa total kasus kusta baru di Indonesia mencapai 19.343 kasus, dengan 9,33 persennya adalah anak-anak (target WHO kurang dari 5 persen). Angka ini menunjukkan tantangan besar dalam penanggulangan kusta.
Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf, dan organ lain. Beragam gejala yang mirip penyakit kulit lain membuat kusta sering terabaikan. Mati rasa pada area yang terinfeksi merupakan ciri khas kusta. Pengobatan terlambat dapat menyebabkan kecacatan permanen pada mata, tangan, dan kaki.
Pengobatan kusta menggunakan multidrug therapy (MDT), selama enam bulan untuk kusta pausibasilar (PB) dan 12 bulan untuk kusta multibasilar (MB). Penularan kusta terjadi melalui pernapasan atau kontak erat dengan penderita yang belum diobati. Indonesia pernah berhasil menurunkan angka prevalensi kusta dari 5,2 per 10 ribu penduduk pada 1981 menjadi di bawah 1 per 10 ribu penduduk pada 2000.
Namun, upaya eliminasi kusta masih menghadapi berbagai tantangan. Meskipun eliminasi kusta masuk dalam RPJMN dan ditargetkan tercapai di 482 kabupaten/kota pada 2023, realisasinya baru mencapai sekitar 80,91 persen. Beberapa daerah seperti NTT, Gorontalo, dan Papua masih menjadi daerah dengan kasus kusta tinggi. Selain itu, target proporsi kasus baru tanpa cacat (90 persen) dan pengobatan tepat waktu (90 persen) juga belum tercapai.
WHO juga mengubah indikator eliminasi kusta, yaitu tidak ada kasus baru pada anak-anak minimal 5 tahun, tidak ada kasus baru dalam 3 tahun, dan tidak ada kasus sporadis dalam lebih dari 10 tahun. Sebuah penelitian UI menunjukkan penemuan kasus kusta masih rendah, sekitar 60-70 persen dari estimasi. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta juga menjadi penghambat utama penemuan kasus.
Untuk mengatasi hal ini, Kemenkes gencar melakukan edukasi dan peningkatan kapasitas kader kesehatan, melibatkan OYPMK (Orang yang Pernah Mengalami Kusta), serta berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti PERDOSKI dan KATAMATAKU. Kemenkes dan Bappenas juga tengah berupaya menerbitkan dasar hukum untuk mempercepat eliminasi kusta, schistosomiasis, dan rabies.
Keterbatasan sumber daya juga menjadi tantangan. Kemenkes berupaya mengintegrasikan surveilans kusta dengan penanganan penyakit prioritas nasional seperti TB. Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis juga direncanakan untuk mencakup skrining kusta di daerah dengan prevalensi tinggi. Pencegahan melalui vaksin masih dalam tahap uji coba di India.
Prof. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi dari FKUI-RSCM menekankan pentingnya edukasi untuk identifikasi dini kusta dan penghapusan stigma. Stigma dapat berupa pandangan negatif terhadap penderita kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya. Kolaborasi dan edukasi publik sangat penting untuk menghilangkan stigma tersebut.
Pencegahan kusta dapat dilakukan dengan rifampicin, dengan beberapa pertimbangan seperti usia, berat badan, kehamilan, dan pengobatan TB. Untuk kecacatan yang sudah terjadi, upaya difokuskan pada pencegahan agar tidak semakin berat. Eliminasi kusta global pada 2030 membutuhkan kerja sama, empati, dan edukasi yang tepat.