796 Kasus Kusta Teridentifikasi di Papua Barat, Dinkes Dorong Deteksi Dini dan Kolaborasi
Dinas Kesehatan Papua Barat mencatat 796 kasus kusta dengan prevalensi 13,76 per 10.000 penduduk, mendorong deteksi dini dan kolaborasi untuk penanganan optimal.

Manokwari, 5 Mei 2024 - Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua Barat melaporkan adanya 796 kasus kusta hingga tahun 2024. Angka ini menunjukkan prevalensi kasus sebesar 13,76 per 10.000 penduduk. Penyakit menular ini disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae, dan penanganannya membutuhkan upaya kolaboratif dari berbagai pihak karena pengobatannya yang panjang dan kompleks serta stigma sosial yang melekat.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Papua Barat, dr. Nurmawati, menjelaskan bahwa pengobatan kusta membutuhkan waktu minimal enam bulan. "Pengobatan penyakit kusta sangat lama, paling cepat itu enam bulan," ujarnya dalam keterangan pers di Manokwari. Beliau menekankan pentingnya deteksi dini mengingat masa inkubasi penyakit ini yang cukup panjang, antara dua hingga lima tahun. "Deteksi kusta harus rutin karena masa inkubasi panjang, bisa 2 sampai 5 tahun," tambah dr. Nurmawati.
Kasus kusta di Papua Barat tersebar di berbagai wilayah, dengan Manokwari mencatat jumlah tertinggi (508 kasus), diikuti Kaimana (105 kasus), Teluk Bintuni (76 kasus), Fakfak (29 kasus), Teluk Wondama (64 kasus), dan Manokwari Selatan (14 kasus). Kondisi ini memerlukan strategi penanganan yang komprehensif dan terintegrasi di seluruh daerah.
Upaya Peningkatan Kapasitas Tenaga Medis dan Ketersediaan Obat
Dinkes Papua Barat berupaya meningkatkan kapasitas tenaga medis di fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk memberikan pelayanan maksimal kepada penderita kusta. Namun, ketersediaan obat masih menjadi tantangan. "Obat kusta ini tidak mudah diperoleh, dan masih bergantung dengan bantuan WHO melalui pemerintah pusat," ungkap dr. Nurmawati. Distribusi obat disesuaikan dengan jumlah kasus yang teridentifikasi, sehingga pengawasan ketersediaan obat di setiap pusat layanan kesehatan sangat penting.
Reaksi obat yang beragam pada penderita kusta dan stigma sosial yang masih kuat menjadi kendala tersendiri dalam pengobatan. Banyak penderita yang memilih untuk menghentikan pengobatan karena efek samping dan tekanan sosial. "Termasuk stigma masyarakat yang masih sangat kuat, membuat penyakit kusta enggan membuka diri untuk disembuhkan," jelas dr. Nurmawati. Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat sangat diperlukan.
Pemerintah Provinsi Papua Barat berkomitmen untuk mendukung pembiayaan pengobatan kusta, termasuk pengadaan obat. Hal ini sejalan dengan prioritas Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) Papua Barat untuk mewujudkan misi "Papua Sehat".
Sosialisasi dan Deteksi Dini sebagai Strategi Pencegahan
Untuk mengatasi masalah ini, Dinkes Papua Barat gencar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang kusta, termasuk gejala-gejalanya. Masyarakat diimbau untuk proaktif memeriksakan diri jika mengalami bercak putih yang mati rasa. "Kami sedang masifkan kegiatan kemoprofilaksia (pemeriksaan kontak erat), sosialisasi, dan edukasi ke masyarakat," kata dr. Nurmawati.
Deteksi dini dan pengobatan yang tepat waktu sangat penting untuk mencegah penyebaran kusta dan mengurangi dampaknya bagi individu dan masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat sangat krusial dalam upaya penanggulangan penyakit ini. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang kusta dan penghapusan stigma merupakan kunci keberhasilan program ini.
Selain itu, ketersediaan obat yang cukup dan terdistribusi secara merata juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan penanganan kusta di Papua Barat. Dukungan penuh dari pemerintah pusat dan internasional sangat dibutuhkan untuk memastikan keberlangsungan program ini.
Dengan penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan jumlah kasus kusta di Papua Barat dapat ditekan dan kualitas hidup para penderita dapat ditingkatkan.