Inovasi UGM: Biji Nyamplung, Pakan Ternak Ramah Lingkungan
Tim Fapet UGM berhasil mengembangkan inovasi pemanfaatan biji nyamplung sebagai pakan ternak ramah lingkungan yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan.

Yogyakarta, 14 Februari 2024 - Sebuah terobosan baru dalam dunia peternakan ramah lingkungan hadir dari Tim Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM). Mereka berhasil memanfaatkan biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebagai pakan alternatif untuk ternak ruminansia. Inovasi ini merupakan bagian dari Program Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) 2023-2025, hasil kolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Pakan Ternak Ramah Lingkungan dari Biji Nyamplung
Ketua Tim Riset Fapet UGM, Dimas Hand Vidya Paradhipta, menjelaskan bahwa riset ini menunjukkan potensi besar biji nyamplung dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. "Penggunaan bungkil biji nyamplung sebagai pakan tunggal terbukti mampu menurunkan konsentrasi produksi gas metan pada ternak ruminansia secara in vitro," ungkap Dimas dalam keterangannya di Yogyakarta.
Penemuan ini sangat signifikan karena peternakan merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Dengan mengurangi produksi gas metan dari ternak, inovasi ini berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan. Biji nyamplung, yang berasal dari pohon yang tumbuh subur di berbagai wilayah Indonesia, menawarkan solusi berkelanjutan dan ekonomis.
Potensi Biji Nyamplung dan Pengolahannya
Nyamplung, tanaman asli Indonesia, dikenal mampu tumbuh di berbagai kondisi lingkungan, mulai dari Sumatera hingga Papua. Meskipun bukan tanaman pangan, bijinya kaya akan minyak nabati yang dikenal sebagai Tamanu Crude Oil (TCO). Minyak ini telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, termasuk biofuel, produk kesehatan, dan kosmetik.
Namun, selama ini limbah pengolahan biji nyamplung, yaitu bungkilnya, sering terbuang sia-sia. Padahal, bungkil ini menyimpan potensi besar sebagai pakan ternak. Hasil penelitian menunjukkan bungkil biji nyamplung mengandung protein kasar sekitar 20 persen, lemak kasar 15,3 persen, total fenol 6,47 persen, dan total flavonoid 1,70 persen. Kandungan nutrisi ini membuatnya menjadi alternatif pakan yang menjanjikan.
Tantangan dan Pengembangan Selanjutnya
Meskipun menjanjikan, bungkil biji nyamplung masih memiliki tantangan. Kandungan serat kasarnya yang tinggi (hampir 18 persen) membuatnya belum direkomendasikan sebagai pakan unggas. Hal ini disebabkan oleh metode pengepresan minyak biji nyamplung yang masih menggunakan sistem hidrolik. Tim peneliti berharap penggunaan sistem screw press expeller di masa mendatang dapat menghasilkan bungkil dengan kandungan serat kasar yang lebih rendah.
Riset ini masih berlanjut. "Riset tahun kedua berfokus pada penggunaan bungkil biji nyamplung dalam pakan campuran, sedangkan riset tahun ketiga akan mengaplikasikannya pada domba," jelas Dimas. Hal ini menunjukkan komitmen tim peneliti untuk terus mengembangkan inovasi ini agar dapat diaplikasikan secara luas dan memberikan manfaat optimal bagi peternak dan lingkungan.
Kesimpulan
Inovasi pemanfaatan biji nyamplung sebagai pakan ternak ramah lingkungan oleh Tim Fapet UGM merupakan langkah maju dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang berlimpah dan mengurangi limbah, inovasi ini menawarkan solusi berkelanjutan dan ekonomis bagi industri peternakan Indonesia. Penelitian yang berkelanjutan akan memastikan optimalisasi potensi biji nyamplung dan penerapannya yang lebih luas di masa depan.