Investasi Padat Karya: Solusi Perekonomian Indonesia?
Ketua Apindo menyoroti rendahnya investasi di sektor padat karya Indonesia, yang berdampak pada lapangan kerja dan daya saing produk, serta menyerukan sinergi pemerintah dan pengusaha untuk mengatasinya.

Jakarta, 18 Februari 2024 - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, baru-baru ini menyoroti isu penting terkait perekonomian Indonesia: rendahnya investasi di sektor padat karya. Investasi yang lebih banyak mengalir ke sektor padat modal berdampak signifikan pada terbatasnya lapangan kerja baru, sementara jumlah angkatan kerja terus meningkat. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan semakin melebarnya kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja.
Investasi Padat Karya dan Lapangan Kerja
Shinta menjelaskan, "Konsekuensinya, lapangan kerja yang tercipta semakin sedikit, sementara jumlah angkatan kerja terus bertambah. Hal ini menciptakan ketimpangan yang semakin lebar antara ketersediaan lapangan kerja dan kebutuhan tenaga kerja, tenaga kerja terpaksa beralih ke sektor jasa dengan produktivitas lebih rendah, bahkan masuk ke sektor informal yang rentan." Pernyataan ini menekankan urgensi peningkatan investasi di sektor padat karya untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran.
Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa rendahnya investasi di sektor padat karya juga berkontribusi pada penurunan kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Fenomena ini, yang dikenal sebagai deindustrialisasi dini, terjadi ketika sektor manufaktur kehilangan momentum pertumbuhan sebelum mampu mendorong ekonomi ke level yang lebih tinggi. Indonesia, dengan kontribusi manufaktur hanya 19 persen pada 2023, tertinggal di belakang negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand (25 persen), Malaysia (23 persen), dan Vietnam (24 persen).
Tantangan Daya Saing dan Struktur Industri
Pelemahan daya saing produk padat karya Indonesia juga menjadi perhatian serius. Sebagai contoh, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami penurunan tren ekspor selama 10 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan perlunya strategi yang komprehensif untuk meningkatkan daya saing produk-produk tersebut di pasar global.
Shinta juga menyinggung masalah struktur industri Indonesia yang didominasi oleh industri kecil (96 persen), sementara industri menengah dan besar masih sangat terbatas (masing-masing 3 persen dan 1 persen). Kondisi ini, yang dikenal sebagai missing middle, mengakibatkan lemahnya keterkaitan antar industri dan ketergantungan yang tinggi pada impor bahan baku.
Solusi Pemerintah dan Kolaborasi
Menanggapi tantangan tersebut, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, dan Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menyampaikan sejumlah strategi pemerintah. Salah satunya adalah mengajak pengusaha untuk berpartisipasi dalam gerakan produktivitas nasional yang akan segera diluncurkan. Sementara itu, Mendag Budi menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha dalam memperkuat daya saing produk Indonesia di tengah tantangan global.
Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan ini. Pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi sektor padat karya, sementara pengusaha perlu meningkatkan inovasi dan efisiensi untuk meningkatkan daya saing produknya. Dengan demikian, peningkatan investasi di sektor padat karya diharapkan dapat menjadi solusi untuk menggenjot perekonomian Indonesia, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan
Pernyataan dari Apindo dan para menteri tersebut menyoroti pentingnya peningkatan investasi di sektor padat karya sebagai kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan inklusif. Langkah-langkah konkret dan kolaborasi yang erat antara pemerintah dan sektor swasta sangat dibutuhkan untuk mengatasi tantangan yang ada dan menciptakan masa depan ekonomi yang lebih baik.