Kementerian HAM Dukung Percepatan Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Kementerian HAM mendukung percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk melindungi hak dan nilai masyarakat adat, yang telah dijamin konstitusi namun belum diatur dalam undang-undang khusus.

Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan dukungannya terhadap percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Hal ini disampaikan Menteri HAM, Natalius Pigai, usai menerima audiensi Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat di Jakarta, Selasa, 6 Mei 2024. Dukungan ini didasarkan pada komitmen Kementerian HAM untuk menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Menurut Menteri Pigai, kekurangan regulasi khusus untuk masyarakat adat merupakan sebuah celah yang perlu segera ditutup. Meskipun eksistensi masyarakat adat telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I, implementasinya belum tertuang dalam undang-undang tersendiri. "Masyarakat adat itu sudah ditempatkan [pada] posisi adiluhung dalam konstitusi nasional...tapi, sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, belum ada undang-undang yang mengatur implementasi tentang perlindungan, pelestarian, penghormatan terhadap masyarakat adat," tegas Menteri Pigai.
Langkah konkret Kementerian HAM untuk mendukung percepatan pengesahan RUU ini adalah dengan menggelar diskusi kelompok terpumpun (FGD) bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat pada awal Juni mendatang. Koalisi ini terdiri dari sekitar 47 organisasi yang selama ini aktif mengadvokasi dan membela masyarakat adat di seluruh Indonesia. Setelah FGD, Kementerian HAM akan mengirimkan surat resmi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mendorong percepatan proses pengesahan RUU tersebut.
Perlindungan Hak dan Nilai Masyarakat Adat
Menteri Pigai optimistis RUU Masyarakat Adat dapat segera disahkan, mengingat RUU ini telah kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini. "2025 ini kemungkinan akan disahkan, tetapi undang-undang yang disahkan itu harus substantif," katanya. Ia menekankan pentingnya RUU ini memenuhi standar HAM, menghormati nilai-nilai masyarakat adat, dan memberikan perlindungan yang memadai. Hal ini sejalan dengan posisi adiluhung yang telah diberikan kepada masyarakat adat dalam konstitusi.
Salah satu isu krusial yang perlu diperjelas dalam RUU ini adalah definisi masyarakat adat itu sendiri. Menteri Pigai menyoroti adanya pergeseran makna dan pemahaman tentang masyarakat adat karena kurangnya definisi yang jelas dan tegas. Ketidakjelasan ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat adat.
Selain definisi masyarakat adat, regulasi agraria dan investasi yang melibatkan masyarakat adat juga perlu mendapat perhatian khusus. Kehadiran perusahaan dan investasi, menurut Menteri Pigai, tidak boleh menggerus nilai budaya dan tatanan adat yang sudah ada. "Kehadiran perusahaan sejatinya adalah memproteksi dan melestarikan, bukan meniadakan masyarakat adat," tegasnya.
Tantangan dan Harapan
Pengesahan RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih kuat bagi masyarakat adat di Indonesia. Namun, proses pengesahan ini juga dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk penyusunan rumusan yang komprehensif dan mengakomodasi kepentingan semua pihak. Perlu adanya kesepahaman dan komitmen bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, DPR, dan masyarakat adat sendiri, untuk memastikan RUU ini disahkan dengan substansi yang tepat dan bermanfaat.
Dengan dukungan dari Kementerian HAM dan berbagai pihak terkait, diharapkan RUU Masyarakat Adat dapat segera disahkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Pengesahan RUU ini menjadi langkah penting dalam upaya melindungi hak-hak dasar, melestarikan budaya, dan menghargai keberadaan masyarakat adat sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.
Kejelasan regulasi ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi masyarakat adat dalam menghadapi berbagai ancaman, seperti alih fungsi lahan, eksploitasi sumber daya alam, dan konflik agraria. Dengan demikian, masyarakat adat dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan adat istiadat mereka tanpa harus menghadapi berbagai hambatan dan ketidakpastian hukum.