Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya: Bertahan di Tengah Perubahan Zaman
Kelompok ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya di Yogyakarta beradaptasi dengan perubahan zaman dengan tetap menjaga nilai seni dan budaya Jawa, melalui inovasi pertunjukan dan promosi digital.

Astri (45), seorang pemain teater dari Yogyakarta, tengah mempersiapkan diri untuk pentas ketoprak tobong. Ia akan memerankan tokoh dalam lakon 'Ati Segara' yang dipentaskan oleh Kelana Bhakti Budaya di Brayut, Sleman, Yogyakarta. Pementasan ini menampilkan fragmen-fragmen sejarah Mataram, menceritakan kisah pernikahan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan, cinta Pangeran Samber Nyawa dan Raden Matah Ati, serta perpisahan Pangeran Diponegoro dan ibunya. Pertunjukan ini menjadi tantangan baru bagi Astri, yang terbiasa dengan teater modern, untuk berakting dengan bahasa Jawa halus di panggung ketoprak.
Kelana Bhakti Budaya, awalnya bernama Sri Budoyo dan berdiri di Kediri pada tahun 1992, merupakan kelompok ketoprak tobong yang unik. Istilah 'tobong' merujuk pada tradisi berpentas keliling, membawa panggung, gamelan, kostum, bahkan warung makan dan sekolah kecil untuk keluarga pemain. Namun, sejak menetap di Yogyakarta pada 2006, mereka beradaptasi dengan pertunjukan menetap karena pertimbangan finansial dan jumlah penonton yang menurun. Meskipun begitu, semangat nomaden mereka tetap ada, selalu siap berpentas di mana pun ada kesempatan.
Di tengah tantangan mempertahankan eksistensi ketoprak di era modern, Risang Yuwono, pemimpin Kelana Bhakti Budaya, terus berjuang meneruskan warisan ayahnya. Ia berupaya menjaga ruh ketoprak tradisional sambil berinovasi. Kelompok ini menggeser waktu pertunjukan ke sore hari dan gencar mempromosikan pementasan melalui media sosial untuk menjangkau penonton yang lebih luas, termasuk generasi muda. Risang berkomitmen untuk tetap bertahan, memperkenalkan ketoprak kepada khalayak yang lebih besar, dan memastikan warisan budaya ini tetap lestari.
Menjaga Tradisi di Era Digital
Kelana Bhakti Budaya menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan eksistensi ketoprak di tengah perubahan zaman dan persaingan dengan hiburan modern. Penonton ketoprak semakin berkurang, terutama di kalangan generasi muda yang lebih terbiasa dengan hiburan digital yang instan. Namun, kelompok ini berupaya beradaptasi dengan perubahan tersebut melalui berbagai strategi, termasuk perubahan waktu pertunjukan dan pemanfaatan media sosial untuk promosi.
Risang Yuwono, pemimpin kelompok, menyadari pentingnya inovasi untuk tetap relevan. Ia mencoba berbagai pendekatan baru agar ketoprak tetap menarik bagi generasi muda. Selain perubahan waktu pertunjukan dan promosi di media sosial, kelompok ini juga mempertimbangkan untuk mengeksplorasi format baru, seperti pertunjukan yang lebih singkat dan berdurasi lebih pendek, agar lebih sesuai dengan gaya hidup modern.
Meskipun menghadapi kesulitan finansial, Risang tetap bertekad untuk menjaga warisan budaya ini. Baginya, ketoprak bukan hanya sekadar pertunjukan, melainkan juga bagian penting dari identitas budaya Jawa yang harus dilestarikan. Ia percaya bahwa dengan adaptasi dan inovasi, ketoprak dapat tetap bertahan dan dinikmati oleh generasi mendatang.
Bagi para pemain senior seperti Muhadi (66), ketoprak lebih dari sekadar pekerjaan, tetapi sebuah panggilan jiwa untuk melestarikan seni tradisional. Ia tetap setia tampil meskipun upah yang diterima tidak seberapa, karena baginya, panggung adalah tempatnya untuk 'nguri-uri' (melestarikan) seni pertunjukan rakyat.
Tantangan dan Harapan untuk Ketoprak Tobong
Koes Yuliadi, pengelola Program Studi Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta, melihat ketoprak tobong sebagai warisan budaya yang kompleks, melibatkan tidak hanya seni pertunjukan, tetapi juga manajemen komunitas yang rumit. Dulu, kelompok ketoprak tobong membawa ratusan orang, panggung, gamelan, kostum, bahkan warung makan dan sekolah kecil, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Namun, model nomaden ini sulit dipertahankan di era digital.
Koes menekankan pentingnya adaptasi agar ketoprak tetap relevan. Ia menyarankan eksplorasi platform digital, pengembangan format baru seperti film panggung atau serial daring, dan penciptaan narasi yang sesuai dengan pemahaman generasi sekarang. Ia juga melihat peran penting pemerintah dalam pelestarian ketoprak, misalnya dengan memasukkannya sebagai mata kuliah di sekolah-sekolah seni.
Dengan demikian, generasi muda dapat memahami dan mendalami tradisi ini secara akademis. Ketoprak, dengan cerita-cerita dari Babat Tanah Jawa yang sarat makna, dapat dikemas dalam format modern untuk tetap relevan dan menarik bagi generasi sekarang. Melalui adaptasi dan inovasi, ketoprak tobong dapat terus memainkan peran penting dalam pelestarian budaya Indonesia.
Kelangsungan ketoprak tobong seperti Kelana Bhakti Budaya bergantung pada kemampuannya beradaptasi dengan perubahan zaman. Dengan inovasi dan dukungan dari berbagai pihak, seni tradisional ini diharapkan dapat tetap lestari dan dinikmati oleh generasi mendatang. Komitmen para seniman seperti Astri dan Muhadi, serta upaya Risang Yuwono dalam berinovasi, menunjukkan bahwa semangat untuk melestarikan warisan budaya masih tetap menyala.