Konferensi AGI: Dorong Lompatan Hukum untuk Masyarakat Adat Indonesia
Akar Global Inisiatif (AGI) menggelar konferensi internasional di Bengkulu guna mencari format hukum alternatif yang efektif dan sesuai konteks kekinian masyarakat adat Indonesia, yang selama ini terhambat birokrasi dan aturan.

Akar Global Inisiatif (AGI) menggelar konferensi internasional di Bengkulu, membahas tantangan hukum yang dihadapi masyarakat adat Indonesia. Konferensi ini bertujuan mencari solusi hukum alternatif yang lebih efektif dan sesuai dengan kondisi masyarakat adat saat ini. Kegiatan yang berlangsung pada 21 Januari ini dipicu oleh realita gerakan masyarakat adat yang dinilai mandek, baik dari sisi pegiat, masyarakat adat sendiri, maupun kebijakan pemerintah.
Direktur Eksekutif AGI, Erwin Basrin, mengungkapkan bahwa konferensi ini difokuskan untuk menemukan format gerakan yang berbasis pada kondisi faktual masyarakat adat saat ini, bukan kondisi masa lalu. Ia menyoroti kesulitan masyarakat adat dalam memenuhi persyaratan hukum yang ada, seperti pembuatan peraturan daerah (Perda), pemetaan wilayah digital, dan naskah akademis.
Meskipun konstitusi mengakui kesatuan hukum adat, pengakuan tersebut dibebani syarat-syarat yang sulit dipenuhi masyarakat adat. Basrin menekankan, "Persyaratan yang diajukan pemerintah, seperti membuat Perda dan peta wilayah digital, tidak bisa dipenuhi masyarakat adat. Jadi kita lihat, pengakuan hukum itu ribet betul. Tidak bisa dipenuhi masyarakat adat."
Konferensi ini diharapkan dapat menghasilkan format hukum yang lebih mudah diterapkan oleh masyarakat adat, sekaligus mendorong negara untuk mengakui hak-hak adat sebagai hak substansial. Basrin menilai kebijakan hukum negara saat ini yang mengakui kesatuan hukum masyarakat adat, tidak efektif dalam praktiknya.
Lebih lanjut, Basrin menambahkan bahwa pandangan negara terhadap eksistensi masyarakat adat cenderung hanya sebatas simbolis, terlihat dari apresiasi terhadap pakaian adat, acara adat pada momen-momen tertentu, tari-tarian, dan pertunjukan seni. Sementara itu, pengakuan terhadap hak-hak adat masih kurang.
Joni, perwakilan Masyarakat Adat Dayak Belangin Desa Engkangin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, mengapresiasi konferensi ini sebagai wadah bagi masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-haknya. Ia berharap konferensi ini dapat memberikan solusi nyata bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia.
Konferensi ini menjadi langkah penting dalam mendorong perubahan sistem hukum yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat adat di Indonesia. Harapannya, temuan dan rekomendasi dari konferensi ini dapat diadopsi oleh pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.