Kontrak TPP 2025: Pakar Hukum Tegaskan Kewenangan Penuh Kemendes
Pakar hukum tata negara, Prof. Juanda, menegaskan kewenangan penuh Kementerian Desa dalam memutuskan kelanjutan kontrak Tenaga Pendamping Profesional (TPP) tahun 2025, menekankan pentingnya evaluasi dan kepatuhan pada aturan hukum.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT) memegang kendali penuh atas keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan kontrak Tenaga Pendamping Profesional (TPP) pada tahun 2025. Hal ini ditegaskan oleh Prof. Dr. Juanda, pakar hukum tata negara, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (7/3). Pernyataan ini menanggapi polemik yang terjadi terkait nasib para TPP di tahun mendatang.
Prof. Juanda menjelaskan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan, Kemendes PDT memiliki wewenang untuk mengevaluasi kontrak TPP setiap tahun, bahkan setiap bulan. Mekanisme evaluasi tahunan yang dilakukan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendes dinilai tepat, asalkan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Lebih lanjut, Prof. Juanda memberikan penjelasan terkait tudingan maladministrasi yang dilayangkan kepada Kemendes PDT. Ia menjelaskan bahwa penilaian suatu keputusan sebagai maladministrasi harus mengacu pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan Peraturan Ombudsman Nomor 58 Tahun 2023. Menurutnya, jika keputusan Kemendes sesuai dengan peraturan yang berlaku dan asas pemerintahan yang baik, maka tidak dapat dikategorikan sebagai maladministrasi.
Kewenangan Kemendes dan Asas Hukum
Prof. Juanda menekankan bahwa meskipun Kemendes PDT memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kelanjutan kontrak TPP, tudingan keterlibatan TPP dalam pelanggaran aturan Pemilu perlu ditelusuri. Jika terbukti, keputusan Kemendes akan memiliki dasar hukum yang lebih kuat. Ia juga mengacu pada asas Presumtio Iustae Causa dalam hukum administrasi, yang menganggap setiap keputusan pejabat pemerintahan sah dan benar sebelum ada putusan pengadilan yang membatalkannya.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa evaluasi tahunan yang dilakukan oleh BPSDM Kemendes merupakan bagian integral dari tata kelola pemerintahan yang baik. Evaluasi ini penting untuk memastikan kinerja dan efektivitas TPP dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, keputusan Kemendes terkait kontrak TPP harus didasarkan pada hasil evaluasi yang objektif dan transparan.
Proses evaluasi ini juga harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kinerja individu TPP, kebutuhan desa, dan ketersediaan anggaran. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses evaluasi ini sangat penting untuk mencegah terjadinya dugaan maladministrasi atau penyimpangan lainnya.
Hak TPP dan Prinsip Negara Hukum
Meskipun kewenangan penuh ada di tangan Kemendes PDT, Prof. Juanda juga mengakui hak TPP untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Ia menegaskan bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari prinsip negara hukum dan demokrasi, selama dilakukan secara profesional dan proporsional. Hal ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara kewenangan pemerintah dan hak-hak warga negara.
Perjuangan TPP untuk mempertahankan kontrak kerja mereka harus dilakukan melalui jalur-jalur yang sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Mereka dapat menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka melalui mekanisme yang telah ditetapkan, seperti dialog, negosiasi, atau jalur hukum jika diperlukan. Namun, penting untuk diingat bahwa semua proses tersebut harus tetap berada dalam koridor hukum dan etika.
Kesimpulannya, persoalan kontrak TPP 2025 berada di bawah kewenangan penuh Kemendes PDT. Namun, proses pengambilan keputusan harus transparan, akuntabel, dan berdasarkan hukum serta asas pemerintahan yang baik. Sementara itu, TPP juga memiliki hak untuk memperjuangkan hak-hak mereka melalui jalur yang legal dan proporsional.