Ombudsman RI Selidiki Dugaan Malaadministrasi PHK 1.040 TPP Desa
Ombudsman RI tengah memproses laporan dugaan malaadministrasi terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 1.040 Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Desa oleh Kementerian Desa, dengan alasan pencalonan sebagai Caleg dinilai sebagai tindakan melanggar a

Jakarta, 5 Maret 2024 - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) resmi memproses laporan dugaan malaadministrasi terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 1.040 Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Desa. PHK massal ini dilakukan oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), menimbulkan polemik dan protes dari para TPP Desa yang merasa di-PHK secara tidak adil.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menyatakan bahwa laporan tersebut akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan menyeluruh. Pemeriksaan akan melibatkan berbagai pihak, termasuk Menteri Desa Yandri Susanto dan pihak-pihak terkait lainnya. Proses pemeriksaan ini akan menggali informasi, klarifikasi, dan berujung pada laporan hasil pemeriksaan yang akan menentukan apakah terdapat bukti malaadministrasi atau tidak.
Robert menambahkan, "Di laporan hasil pemeriksaan ini akan terlihat terbukti tidak dugaan malaadministrasinya, karena ini soal pelayanan publik, soal hubungan kerja. Kalau memang nanti terbukti tentu Ombudsman akan membunyikan apa bentuk malaadministrasinya." Proses ini penting untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam penanganan kasus PHK massal ini.
Pemeriksaan Mendalam Dugaan Malaadministrasi
Pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman RI akan fokus pada dugaan malaadministrasi dalam proses PHK 1.040 TPP Desa. Perwakilan Perkumpulan Tenaga Pendamping Desa Indonesia (Pertepedesia), Hendriyatna, menjelaskan bahwa seharusnya kontrak kerja para TPP Desa masih berlaku hingga Desember 2025. Ia juga mempertanyakan alasan PHK yang didasarkan pada pencalonan mereka sebagai calon anggota legislatif (Caleg).
Hendriyatna menjelaskan bahwa Pertepedesia sebelumnya telah melakukan komunikasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pencalonan para TPP Desa. KPU telah memberikan klarifikasi kepada Kementerian Desa, yang kemudian melakukan kajian legal formal dan administratif. Hasil kajian tersebut menyatakan bahwa karena TPP Desa memiliki status kontrak dan proses pengadaan melalui barang dan jasa, mereka tidak diwajibkan untuk mundur atau cuti dari jabatannya.
Lebih lanjut, Hendriyatna menegaskan bahwa 1.040 TPP Desa tersebut tidak pernah menerima teguran dari KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait pencalonan mereka. Ia menilai tindakan Kementerian Desa yang mempersoalkan pencalonan tersebut berada di luar kewenangan mereka dan merupakan tindakan malaadministrasi. "Secara kewenangan, hanya Bawaslu yang berhak menegur apakah kami melakukan pelanggaran atau tidak," tegasnya.
Pertepedesia berencana untuk melanjutkan upaya hukum dengan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan meminta audiensi dengan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) agar Presiden dapat mendengar langsung keluhan mereka.
Langkah Hukum Selanjutnya dan Pertemuan dengan DPR
Setelah sebelumnya melakukan audiensi dengan Komisi V dan Komisi IX DPR RI, perwakilan 1.040 TPP Desa akan melanjutkan perjuangan mereka dengan menemui Komnas HAM pada Kamis, 6 Maret 2024, pukul 11.00 WIB. Langkah ini menunjukkan keseriusan mereka dalam memperjuangkan hak-hak mereka yang mereka anggap telah dilanggar.
Selain Komnas HAM, mereka juga berencana untuk meminta audiensi dengan KSP agar Presiden dapat mendengar langsung permasalahan yang mereka hadapi. Harapannya, Presiden dapat memberikan solusi dan intervensi untuk menyelesaikan masalah PHK massal ini secara adil dan tuntas. Perjuangan panjang ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, khususnya dalam pengelolaan tenaga kerja di sektor publik.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan hak-hak pekerja dan proses yang adil dalam pengambilan keputusan terkait PHK. Hasil pemeriksaan Ombudsman RI dan langkah-langkah hukum selanjutnya akan menentukan nasib 1.040 TPP Desa yang telah kehilangan pekerjaan mereka.