Kualitas Pekerjaan di Indonesia: Di Balik Angka Pengangguran yang Menurun
Meskipun angka pengangguran di Indonesia menurun, kualitas pekerjaan tetap menjadi masalah serius, ditandai dengan tingginya pekerja informal dan rendahnya upah.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, Bagaimana: Pada Agustus 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan angka pengangguran terbuka di Indonesia menjadi 4,91 persen, lebih rendah dari 5,23 persen pada Agustus 2019. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak pekerja, meski tercatat bekerja, masih hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas pekerjaan yang ditandai dengan tingginya jumlah pekerja informal dan upah minimum yang tidak mencukupi kebutuhan hidup layak. Pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pekerjaan di Indonesia.
Meskipun angka pengangguran menurun, kenyataan ini tidak serta-merta mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Banyak pekerja, terutama di sektor informal, masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa jaminan sosial dan perlindungan hukum yang memadai. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara statistik dan realita kehidupan pekerja di Indonesia.
Data BPS menunjukkan adanya masalah struktural dalam pasar kerja Indonesia. Peningkatan jumlah pekerja tidak diiringi peningkatan kualitas pekerjaan. Hal ini menyebabkan optimisme atas penurunan angka pengangguran menjadi pudar, dan menuntut adanya evaluasi mendalam terhadap kebijakan ketenagakerjaan yang ada.
Tingginya Pekerja Informal dan Upah Minimum yang Rendah
Salah satu indikator utama rendahnya kualitas pekerjaan adalah tingginya proporsi pekerja informal di Indonesia. Sebanyak 57,95 persen angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2024 berada di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan jaminan sosial yang memadai. Mereka bekerja sebagai pekerja mandiri, pekerja keluarga tak dibayar, buruh harian lepas, dan lain sebagainya.
Kondisi ini diperparah dengan upah minimum yang rendah. Pada 2023, 27,57 persen pekerja upahan menerima gaji di bawah dua pertiga dari median upah nasional, dikategorikan sebagai pekerjaan bergaji rendah. Kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen pada 2025 pun belum mampu mengejar laju kebutuhan hidup, terutama bagi pekerja informal yang sama sekali tidak tercakup dalam regulasi upah minimum.
"Keberadaan pekerjaan informal memang menurunkan angka pengangguran secara statistik, namun sekaligus memperdalam kerentanan dan ketimpangan," ungkap seorang analis BPS. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Lebih lanjut, lemahnya sistem pengupahan minimum di Indonesia menjadi masalah yang perlu segera diatasi. Upah minimum seharusnya berlandaskan kajian empirik atas kebutuhan hidup layak dan struktur pengeluaran rumah tangga, bukan hanya negosiasi politik.
Kerja Non-Standar dan Ancaman bagi Kelas Menengah
Fenomena kerja non-standar, seperti kontrak jangka pendek, outsourcing, dan pekerjaan paruh waktu, semakin memperburuk situasi. Bahkan di sektor formal, banyak pekerja hidup dalam ketidakpastian karena kontrak kerja sementara yang sewaktu-waktu dapat tidak diperpanjang. Kondisi ini menyebabkan stagnasi upah, tekanan mental, dan mandeknya mobilitas sosial.
"Peralihan menuju fleksibilitas tenaga kerja, yang kerap dibenarkan demi daya saing global, justru mengorbankan hak pekerja dan meningkatkan kecemasan finansial," kata seorang pengamat ketenagakerjaan. Kondisi ini bukan hanya dialami oleh pekerja berpenghasilan rendah, tetapi juga mengancam kelas menengah.
Data BPS menunjukkan penyusutan proporsi kelas menengah dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,13 persen pada 2024. Inflasi, stagnasi penghasilan, dan lonjakan biaya hidup menekan kelas menengah, memaksa banyak orang menggunakan tabungan atau berutang untuk mempertahankan gaya hidup.
Erosi kelas menengah ini merupakan peringatan serius bagi perekonomian Indonesia. Penyusutan kelas menengah melemahkan permintaan agregat, menggerus basis pajak, dan memperbesar ketimpangan. Kondisi ini berpotensi menciptakan masyarakat yang terpolarisasi antara segelintir elite kaya dan mayoritas yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi.
Kebijakan Ketenagakerjaan yang Perlu Direformasi
Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia perlu melakukan pergeseran paradigma dalam kebijakan ketenagakerjaan. Fokus bukan hanya pada penciptaan lapangan kerja, tetapi juga pada peningkatan kualitas pekerjaan. Hal ini membutuhkan beberapa langkah strategis:
- Peninjauan ulang sistem upah minimum: Upah minimum harus berlandaskan kebutuhan hidup layak dan struktur pengeluaran rumah tangga.
- Perlindungan ketenagakerjaan yang lebih luas: Perlu adanya skema jaminan sosial portabel dan dukungan pendapatan bagi pekerja informal.
- Integrasi kualitas kerja dalam insentif fiskal dan regulasi: Perusahaan yang memenuhi standar kerja layak mendapatkan insentif.
- Penguatan penegakan hukum ketenagakerjaan: Inspeksi rutin, sistem pengaduan pekerja, dan sanksi efektif diperlukan.
- Pengembangan tenaga kerja yang berkelanjutan: Pendidikan dan pelatihan vokasional yang responsif terhadap tren pasar kerja.
Pekerjaan yang layak merupakan fondasi harga diri, inklusi sosial, dan aktualisasi potensi manusia. Indonesia perlu melampaui pengukuran kerja sebagai angka statistik dan mengadopsi visi ketenagakerjaan yang berpusat pada kualitas, keadilan, dan ketahanan. Mewujudkan hal ini membutuhkan keberanian politik, investasi fiskal, dan kolaborasi lintas sektor. Pekerjaan layak bukan sekadar hak istimewa, melainkan standar bagi semua warga negara Indonesia.