Kesejahteraan Buruh: Pilar Daya Saing Ekonomi Indonesia
Kesejahteraan buruh di Indonesia menjadi kunci daya saing ekonomi nasional, meskipun masih dihadapkan pada tantangan upah rendah, kecelakaan kerja, dan perlindungan sosial yang minim.

Jakarta, 30 April 2024 (ANTARA) - Dalam perekonomian global saat ini, buruh bukan hanya sebagai faktor produksi, melainkan subjek penting yang menentukan daya saing suatu negara. Negara-negara dengan kesejahteraan buruh tinggi umumnya memiliki produktivitas dan efisiensi industri yang lebih baik. Indonesia, sebagai negara berkembang, masih menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kesejahteraan buruh meskipun kontribusi mereka terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup signifikan.
Sektor industri pengolahan, yang menyumbang 18,34 persen terhadap PDB pada tahun 2024 menurut Badan Pusat Statistik (BPS), menyerap lebih dari 13 juta tenaga kerja. Sebagian besar tenaga kerja ini adalah buruh. Namun, rendahnya upah, ketidakamanan kerja, dan minimnya perlindungan sosial menjadi masalah utama yang menghambat kesejahteraan mereka. Kondisi ini berpotensi menggerus daya saing Indonesia di tengah persaingan global dan perkembangan ekonomi digital.
Negara-negara maju seperti Jerman, Skandinavia, dan Jepang, yang dikenal dengan daya saing ekonominya yang tinggi, telah membuktikan bahwa kesejahteraan buruh bukanlah beban, melainkan investasi jangka panjang. Model kebijakan mereka yang menyeimbangkan keuntungan bisnis dengan perlindungan tenaga kerja patut dipelajari Indonesia.
Upah Buruh dan Kesenjangannya
Data GoodStats menunjukkan rata-rata upah buruh Indonesia pada Februari 2024 mencapai Rp3.040.719 per bulan, mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Terdapat kesenjangan upah yang signifikan antar sektor; sektor keuangan dan asuransi mencatatkan upah tertinggi (Rp7,91 juta), sementara sektor jasa lainnya hanya Rp1,83 juta. Pemerintah berupaya mengatasi hal ini melalui kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025, menjadikan rata-rata UMP nasional mencapai Rp3.315.728.
Meskipun demikian, kenaikan UMP belum cukup mengatasi kenaikan biaya hidup dan inflasi. Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyoroti bahwa tidak semua perusahaan mampu menyesuaikan upah sesuai ketentuan, sehingga dampaknya terhadap daya beli masih terbatas. Provinsi DKI Jakarta memiliki UMP tertinggi (Rp5.396.761), sementara Jawa Tengah terendah (Rp2.169.349), mencerminkan ketimpangan regional.
Kecelakaan kerja juga menjadi masalah serius. Data Jamsostek tahun 2023 mencatat lebih dari 150.000 kasus, dengan Lampung sebagai provinsi dengan angka tertinggi. Hal ini menunjukkan pentingnya peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di berbagai perusahaan. Meskipun BPJS Ketenagakerjaan telah mencakup lebih dari 34 juta pekerja, cakupan di sektor informal (sekitar 60 persen tenaga kerja nasional) masih sangat rendah, hanya 22 persen yang terdaftar pada 2023.
Kebijakan Pemerintah untuk Meningkatkan Kesejahteraan Buruh
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, termasuk pemberian makanan bergizi bagi anak-anak dan ibu hamil dari keluarga buruh. Kenaikan Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025 juga merupakan upaya untuk menjaga daya beli dan meningkatkan kesejahteraan buruh secara bertahap.
Program pelatihan dan sertifikasi kompetensi melalui Balai Latihan Kerja (BLK) dan pendidikan vokasi berbasis industri juga digalakkan. Lebih dari 250.000 buruh mengikuti pelatihan berbasis kompetensi pada tahun 2023. Pemerintah juga berupaya memperluas cakupan jaminan sosial melalui Program Penerima Bantuan Iuran (PBI), menargetkan 5 juta pekerja informal baru untuk bergabung dengan BPJS Ketenagakerjaan hingga akhir 2025.
Revisi Undang-Undang Cipta Kerja juga menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperbaiki klausul yang dinilai merugikan buruh, dengan melibatkan serikat pekerja dalam proses revisi.
Tantangan yang Masih Dihadapi
Meskipun ada upaya peningkatan kesejahteraan buruh, tantangan masih banyak. Ketimpangan regional, kepatuhan perusahaan terhadap UMP, dan kenaikan biaya hidup masih menjadi kendala. Sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki masih menawarkan upah yang jauh lebih rendah dibandingkan sektor lain. Rendahnya daya tawar serikat buruh (hanya sekitar 7 persen buruh yang tergabung dalam serikat, menurut KSPI) juga memperlemah advokasi kesejahteraan mereka.
Disrupsi teknologi dan transformasi digital juga menjadi ancaman, karena otomatisasi pekerjaan dapat menyebabkan pengangguran jika buruh tidak memiliki keterampilan yang sesuai. Reskilling dan upskilling menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan ini.
Pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis, seperti reformasi skema upah minimum dan insentif produktivitas, pembangunan ekosistem digital untuk layanan ketenagakerjaan, dan mendorong perlindungan universal untuk pekerja informal melalui skema basic income security. Penguatan kelembagaan dan partisipasi Serikat Buruh dalam pengambilan kebijakan juga sangat penting.
Kesimpulannya, kesejahteraan buruh merupakan pilar penting daya saing ekonomi Indonesia. Kebijakan ketenagakerjaan yang adaptif, adil, dan berpihak pada pekerja sangat dibutuhkan untuk menciptakan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Indonesia membutuhkan reformasi regulasi, peningkatan keterampilan, dan perluasan perlindungan sosial agar buruh dapat menjadi motor penggerak ekonomi nasional.