Menata Ketenagakerjaan di Era Digital: Tantangan dan Peluang Indonesia
Laporan BPS Agustus 2024 menunjukkan penurunan pengangguran, namun tantangan besar masih ada, terutama bagi kaum muda, perempuan, dan pekerja informal di era digital yang menuntut solusi komprehensif dan berkelanjutan.
![Menata Ketenagakerjaan di Era Digital: Tantangan dan Peluang Indonesia](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/11/191615.345-menata-ketenagakerjaan-di-era-digital-tantangan-dan-peluang-indonesia-1.jpg)
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia di Agustus 2024 turun menjadi 4,91 persen, kabar baik yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, di balik angka tersebut, tantangan besar masih membayangi sektor ketenagakerjaan, khususnya bagi generasi muda, perempuan, dan pekerja informal. Era digital, dengan segala peluang dan tantangannya, semakin mempertajam isu ini.
Generasi Muda dan Kesenjangan Keterampilan
Data BPS menunjukkan TPT kelompok usia 15-24 tahun mencapai 17,32 persen, tertinggi dibanding kelompok umur lain. Kesenjangan keterampilan antara pendidikan dan tuntutan pasar kerja menjadi akar masalah. Transformasi digital memperparah kondisi ini, karena sektor teknologi berkembang pesat namun tak mampu menyerap tenaga kerja muda tanpa keterampilan digital memadai. Pemerintah perlu memperkuat program pendidikan dan pelatihan, khususnya yang berfokus pada keterampilan digital dan teknologi. Kolaborasi antara sektor pendidikan dan industri sangat penting untuk memastikan relevansi keterampilan lulusan baru.
Pelatihan kerja berbasis teknologi juga harus diperluas, tidak hanya bagi angkatan kerja baru, tetapi juga bagi pekerja yang terancam otomatisasi. Ini membutuhkan investasi besar dan perencanaan strategis untuk memastikan transisi yang mulus bagi para pekerja yang terkena dampak perubahan teknologi.
Ketimpangan Gender dalam Pasar Kerja
Ketimpangan gender juga menjadi sorotan. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 56,42 persen, jauh di bawah laki-laki (84,66 persen) di Agustus 2024. Perempuan juga menghadapi ketimpangan upah; rata-rata upah buruh perempuan Rp2,77 juta, jauh di bawah laki-laki (Rp3,54 juta). Ketimpangan ini terlihat jelas di berbagai sektor, di mana perempuan sering mendapat upah lebih rendah meski di posisi atau industri yang sama.
Pemerintah perlu kebijakan tegas untuk kesetaraan gender, termasuk akses yang lebih luas bagi perempuan ke sektor yang didominasi laki-laki, seperti teknologi dan manajemen. Kebijakan kerja yang lebih fleksibel juga dibutuhkan agar perempuan, terutama yang memiliki tanggung jawab ganda di rumah tangga, tetap produktif tanpa mengorbankan kehidupan pribadi. Dukungan infrastruktur seperti penitipan anak juga krusial untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja.
Sektor Informal dan Tantangan Gig Economy
Sektor informal juga menjadi perhatian serius. Sebanyak 83,83 juta orang (57,95 persen) bekerja di sektor informal di Agustus 2024. Banyak yang bekerja paruh waktu atau setengah pengangguran, tanpa perlindungan sosial atau jaminan kerja memadai. Pekerja paruh waktu mencapai 23,94 persen dari total pekerja. Ketidakpastian kerja di sektor informal, diperparah oleh tren gig economy, membuat banyak pekerja rentan.
Pemerintah perlu memastikan perlindungan tenaga kerja tidak terbatas pada pekerja formal. Perlu perluasan skema jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan agar lebih inklusif bagi pekerja informal dan gig economy. Subsidi kontribusi bagi pekerja berpenghasilan rendah dapat membantu akses jaminan sosial. Regulasi terkait jam kerja dan standar upah perlu menyesuaikan dengan fleksibilitas sektor informal, tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja.
Era Digital: Peluang Inklusi Ketenagakerjaan
Era digital juga membawa peluang besar. Ekonomi berbasis platform memungkinkan fleksibilitas kerja, baik melalui pekerjaan jarak jauh maupun gig economy. Namun, manfaat ini hanya dapat dirasakan luas jika transformasi digital inklusif. Kesenjangan akses digital antara perkotaan dan pedesaan masih ada, membuat pekerja di daerah tertinggal sulit bersaing.
Pembangunan infrastruktur digital harus menjadi prioritas untuk pemerataan akses peluang ekonomi berbasis teknologi. Peningkatan literasi digital juga penting, tidak hanya bagi generasi muda, tetapi juga pekerja informal dan pengusaha mikro. Program pelatihan keterampilan digital harus melibatkan berbagai lapisan masyarakat.
Strategi Jangka Panjang untuk Ketenagakerjaan Berkelanjutan
Program pelatihan vokasi dan digitalisasi UMKM merupakan langkah maju, namun perlu integrasi dengan strategi jangka panjang untuk menciptakan lapangan kerja berkelanjutan. Pengembangan ekonomi hijau menjadi strategi penting, membuka peluang kerja baru dan membantu Indonesia mencapai target keberlanjutan lingkungan. Sektor energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan pertanian berbasis teknologi dapat menciptakan lapangan kerja berkualitas sambil menjaga keseimbangan ekologis.
Ketenagakerjaan yang inklusif hanya tercapai jika kebijakan pemerintah menjangkau semua lapisan masyarakat. Solusi untuk pengangguran, ketidaksetaraan gender, dan sektor informal harus komprehensif dan berorientasi jangka panjang. Dengan memperkuat ekosistem ketenagakerjaan berbasis teknologi, memperluas perlindungan pekerja informal, dan mendorong keterlibatan aktif sektor swasta, Indonesia dapat membangun pasar kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.