Pajak Turun, DJP Perlu Penguatan untuk Pajaki Orang Kaya?
Penurunan penerimaan pajak di APBN 2025 mendorong peneliti CITA menyarankan penguatan DJP dan optimalisasi pajak dari orang kaya untuk mengatasi masalah ini.

Jakarta, 17 Maret 2025 - Penurunan penerimaan pajak di Indonesia pada awal tahun 2025 telah memicu diskusi dan berbagai saran solusi. Fajry Akbar, peneliti dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menyoroti perlunya penguatan kapasitas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan optimalisasi pajak dari kelompok orang kaya untuk mengatasi defisit tersebut. Penurunan signifikan sebesar 30,2 persen (year-on-year/yoy) pada Februari 2025 menjadi fokus utama analisis ini.
Fajry menjelaskan bahwa penurunan ini bukan semata-mata akibat faktor makroekonomi. Ia mengidentifikasi tiga faktor utama: restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang mencapai Rp111,04 triliun (meningkat 93,11 persen yoy), risiko operasional Coretax, dan dampak kebijakan tarif efektif rata-rata (TER). Restitusi PPh Badan, khususnya, diduga menjadi penyebab utama anjloknya penerimaan dari sektor pengolahan, yang selama ini menjadi kontributor utama penerimaan pajak. Situasi ini menimbulkan tantangan bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan kembali penerimaan pajak.
Mitigasi penurunan penerimaan pajak bukan hal mudah. Fajry menekankan bahwa peningkatan penerimaan dalam jangka pendek hanya bisa dilakukan melalui kebijakan, namun langkah tersebut memiliki kendala risiko politik. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang cermat dan terukur.
Solusi Penguatan DJP dan Pajak Orang Kaya
Fajry Akbar mengajukan beberapa opsi solusi. Pertama, penguatan DJP. Ia menilai DJP memiliki kapasitas pengawasan yang baik, dan perlu ‘dipersenjatai’ dengan data dari pihak ketiga (ILAP) dan aturan anti-avoidance untuk meningkatkan efektivitas pengawasan dan penagihan pajak.
Kedua, optimalisasi potensi ekonomi digital. Indonesia memiliki ekonomi digital yang besar dibandingkan negara ASEAN lain. Pemerintah perlu mengevaluasi kepatuhan pajak di sektor ini, khususnya di lokapasar, dan mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor yang terus berkembang pesat ini.
Ketiga, dan yang paling penting, optimalisasi pajak dari kelompok super kaya. Fajry menyarankan penerapan pajak minimum bagi kelompok ini. Dengan skema ini, wajib pajak yang patuh tidak akan dikenai pajak tambahan, sementara mereka yang belum patuh akan dikenakan pajak tambahan. Ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan dan menciptakan keadilan perpajakan.
Opsi ini dinilai sebagai langkah strategis karena kelompok ini memiliki potensi penerimaan pajak yang besar. Penerapan pajak minimum dapat menjadi solusi yang efektif dan adil, mendorong kepatuhan pajak sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Tantangan dan Harapan
Meskipun solusi-solusi tersebut ditawarkan, implementasinya tetap menghadapi tantangan. Perlu koordinasi yang kuat antar lembaga pemerintah dan komitmen yang tinggi untuk memastikan efektivitas kebijakan. Penguatan kapasitas DJP juga memerlukan investasi yang signifikan dalam sumber daya manusia dan teknologi.
Namun, dengan strategi yang tepat dan komitmen yang kuat, pemerintah diharapkan dapat mengatasi penurunan penerimaan pajak dan mencapai target penerimaan pajak yang telah ditetapkan. Optimalisasi penerimaan pajak dari berbagai sektor, termasuk dari kelompok super kaya, menjadi kunci keberhasilan dalam upaya ini. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan pembiayaan pembangunan nasional.
Kesimpulannya, penurunan penerimaan pajak di Indonesia menuntut langkah-langkah strategis dan komprehensif. Penguatan DJP, optimalisasi pajak ekonomi digital, dan penerapan pajak minimum bagi orang kaya menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi masalah ini dan memastikan keberlangsungan pembangunan ekonomi Indonesia.