Penerimaan Pajak NTB Anjlok 68,41 Persen, Tekan Konsumsi dan Aktivitas Usaha
Kinerja penerimaan pajak di Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami kontraksi signifikan hingga 68,41 persen pada Maret 2025, disebabkan tekanan ekonomi dan kebijakan nasional.

Mataram, 28 April 2025 - Kinerja sektor perpajakan di Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami penurunan drastis. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi NTB mencatat kontraksi sebesar 68,41 persen pada penerimaan pajak Maret 2025 dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Penurunan ini menunjukkan tekanan signifikan terhadap konsumsi dan aktivitas usaha di daerah tersebut. Kepala DJPb NTB, Ratih Hapsari Kusumawardani, mengungkapkan bahwa realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp528 miliar pada Maret 2025, jauh di bawah capaian tahun sebelumnya yang mencapai Rp1,67 triliun.
Penurunan tajam ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk melemahnya daya beli masyarakat dan perlambatan aktivitas ekonomi. Kondisi ini berdampak pada semua jenis pajak, baik pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai (PPN). Hal ini menunjukkan adanya tantangan ekonomi yang cukup besar dihadapi NTB.
Sepanjang tahun 2025, target penerimaan pajak NTB sebesar Rp3,68 triliun. Namun, realisasi hingga Maret 2025 baru mencapai Rp528,73 miliar. Kondisi ini tentu menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah dan mendanai program-program pembangunan.
Analisis Rinci Penurunan Penerimaan Pajak
Rincian penurunan penerimaan pajak menunjukkan kontribusi pajak penghasilan sebesar Rp354,10 miliar (17,98 persen) dan PPN sebesar Rp143,41 miliar (9,06 persen). Pajak bumi dan bangunan (PBB) hanya menyumbang Rp0,02 miliar, cukai Rp4,65 miliar, dan pajak lainnya Rp0,77 miliar. Sementara itu, pajak perdagangan internasional, yang ditopang oleh bea masuk (Rp8,55 miliar) dan pajak pungutan ekspor (Rp17,23 miliar), mengalami penurunan signifikan sebesar 97,30 persen.
Penurunan drastis pada pajak perdagangan internasional ini terutama disebabkan oleh kebijakan nasional pelarangan ekspor mineral mentah dan perlambatan ekspor komoditas laut. Kebijakan ini, meskipun bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi domestik, berdampak langsung pada penerimaan negara, khususnya di daerah-daerah yang bergantung pada ekspor komoditas tersebut.
Secara keseluruhan, realisasi pendapatan dan hibah NTB hingga Maret 2025 hanya mencapai Rp770,27 miliar dari target Rp4,30 triliun, atau turun 60,10 persen secara tahunan. Kondisi ini menunjukkan tantangan besar dalam pemenuhan target pendapatan daerah.
Dampak dan Upaya Pemerintah
Meskipun terjadi penurunan pendapatan, kinerja belanja negara di NTB tercatat mengalami pertumbuhan 7,82 persen secara tahunan. Namun, pemerintah pusat memangkas belanja modal sebesar 86,42 persen dan belanja barang sebesar 63,82 persen. Hal ini dilakukan sebagai upaya efisiensi anggaran sesuai Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025.
Pemerintah berkomitmen untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui stimulus fiskal yang terarah. Efisiensi belanja menjadi prioritas utama, memastikan setiap rupiah belanja memberikan dampak ekonomi yang optimal. DJPb NTB secara aktif memantau dan berkoordinasi dengan satuan kerja untuk menghindari penumpukan realisasi di akhir tahun dan menjaga kualitas belanja tetap produktif dan tepat waktu. "Kami secara aktif memantau dan berkoordinasi dengan satuan kerja guna menghindari potensi penumpukan realisasi di akhir tahun serta menjaga kualitas belanja tetap produktif dan tepat waktu," kata Ratih.
Penurunan penerimaan pajak di NTB ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan mengambil langkah-langkah strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penerimaan pajak di masa mendatang. Diperlukan strategi yang komprehensif untuk mengatasi tantangan ekonomi yang dihadapi dan memastikan keberlanjutan pembangunan di NTB.