Pakar Hukum: TPP Desa Bebas Nyaleg, Tak Ada Larangan dalam UU
Pakar hukum tata negara menegaskan tidak ada aturan yang melarang Tenaga Pendamping Profesional (TPP) desa untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, meskipun sumber gaji mereka dari APBN.

Jakarta, 4 Maret 2024 (ANTARA) - Polemik terkait boleh atau tidaknya Tenaga Pendamping Profesional (TPP) desa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif telah terjawab. Prof. Dr. Juanda SH MH, pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang melarang hal tersebut. Pernyataan ini disampaikan di Jakarta, Selasa lalu, menanggapi perdebatan hukum yang berkembang beberapa hari terakhir.
Menurut Prof. Juanda, hak untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia. Hal ini dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3) tentang prinsip negara hukum, Pasal 27 tentang kesamaan kedudukan di mata hukum, dan Pasal 28 tentang hak-hak warga negara. Beliau menekankan bahwa implementasi hak-hak konstitusional ini juga diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Penjelasan Prof. Juanda memberikan kejelasan hukum terkait isu ini. Beliau merujuk pada pasal-pasal spesifik dalam UU Pemilu dan menekankan pentingnya memahami keseluruhan konteks norma hukum yang berlaku. Dengan demikian, isu tersebut dapat dikaji secara lebih komprehensif dan akurat.
Penjelasan UU Pemilu dan Status TPP Desa
Prof. Juanda menjelaskan bahwa Pasal 240 ayat (1) huruf (k) UU Pemilu memang mengatur persyaratan bakal calon legislatif, termasuk kewajiban mengundurkan diri bagi pejabat tertentu seperti kepala daerah, ASN, TNI/Polri, dan karyawan BUMN/BUMD. Namun, beliau menekankan bahwa TPP desa tidak secara spesifik termasuk dalam kategori tersebut.
Lebih lanjut, Prof. Juanda menjelaskan bahwa penjelasan Pasal 240 ayat (1) huruf (k) menyebutkan bahwa pengunduran diri tidak dapat ditarik kembali setelah diterima dan ditindaklanjuti instansi terkait. Ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman komprehensif terhadap seluruh isi pasal, bukan hanya sebagian.
Beliau juga menambahkan bahwa meskipun TPP desa menerima honor dari APBN, status mereka sebagai pekerja profesional berdasarkan kontrak kerja membedakan mereka dari pejabat negara atau karyawan BUMN/BUMD yang diwajibkan mengundurkan diri. Dengan demikian, tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menyatakan TPP desa wajib mengundurkan diri jika ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Sumber Anggaran dan Status Kepegawaian
Prof. Juanda menegaskan kembali bahwa meskipun sumber gaji TPP desa berasal dari APBN, hal ini tidak serta-merta menjadikan mereka termasuk dalam kategori yang wajib mengundurkan diri. Beliau menekankan pentingnya melihat status kepegawaian mereka sebagai pekerja profesional berdasarkan kontrak kerja, bukan sebagai pejabat negara atau karyawan BUMN/BUMD.
Kesimpulannya, berdasarkan analisis hukum yang komprehensif, Prof. Juanda menyimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi TPP desa untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Hal ini didasarkan pada pemahaman yang utuh terhadap ketentuan UU Pemilu dan status kepegawaian TPP desa.
Pernyataan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum dan mengakhiri polemik yang berkembang. Dengan demikian, TPP desa dapat menjalankan hak konstitusional mereka tanpa hambatan hukum yang tidak berdasar.