Pemotongan THR di RS: Anggota DPR Pertanyakan Kesesuaian dengan Transformasi Kesehatan
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mempertanyakan pemotongan THR di RS milik Kemenkes yang dinilai tidak sejalan dengan transformasi kesehatan dan melanggar arahan Presiden.

Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyoroti isu pemotongan Tunjangan Hari Raya (THR) di sejumlah rumah sakit (RS) milik Kementerian Kesehatan. Pemotongan ini dinilai tidak sejalan dengan program transformasi kesehatan, khususnya dalam hal peningkatan kesejahteraan sumber daya manusia kesehatan. Permasalahan ini mencuat setelah adanya laporan pemotongan remunerasi dan THR di RSUP Dr. Kariadi, Semarang, dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Di RSUP Dr. Kariadi, tenaga kesehatan hanya menerima 50 persen tunjangan kinerja pada 17 Maret 2024, sementara di RSUP Dr. Sardjito, pemotongan THR mencapai 70 persen. Edy Wuryanto mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi ini, mengingat tenaga kesehatan merupakan pilar utama layanan kesehatan di Indonesia. "Hal yang lebih menyedihkan terjadi kepada tenaga kesehatan di RSUP Dr Sardjito karena hanya menerima THR sebesar 30 persen saja," katanya.
Lebih lanjut, Edy menjelaskan bahwa pemotongan remunerasi bahkan telah terjadi sejak Agustus 2024. Ia telah mengumpulkan informasi dari Yogyakarta dan menerima keluhan serupa dari tenaga kesehatan di berbagai rumah sakit lainnya. Menurutnya, permasalahan ini membutuhkan penanganan segera sebelum Hari Raya Idul Fitri tiba. "Ini menjadi hal yang serius dan harus segera direspon sebelum hari raya Idul Fitri," tegasnya.
Pemotongan THR Dinilai Melanggar Aturan dan Arahan Presiden
Edy Wuryanto menjelaskan bahwa pemotongan THR bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.05/2022 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 335 Tahun 2024. Kedua aturan tersebut mengatur bahwa remunerasi bagi pegawai Badan Layanan Umum (BLU) rumah sakit merupakan hak yang diberikan sebagai motivasi kerja. "Prinsip-prinsip keadilan, proporsionalitas, kesetaraan, kepatutan, dan kinerja harus menjadi dasar dalam sistem penggajian di rumah sakit, bukan justru diabaikan," ujarnya.
Pemotongan THR juga dinilai bertentangan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang meminta pemberian THR 100 persen. Edy menekankan bahwa kata "maksimal" dalam arahan Presiden tidak boleh diartikan sebagai izin untuk melakukan pemotongan. "Presiden juga sudah memerintahkan untuk memberikan THR maksimal 100 persen. Pesan “maksimal” ini harusnya tidak dimaknai boleh memotong THR," tegas Edy.
Meskipun memahami keterkaitan remunerasi dengan pendapatan rumah sakit sebagaimana tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Nomor Hk.02.02/D/286/2025, Edy menekankan pentingnya komunikasi yang transparan antara manajemen rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait naik turunnya remunerasi. Ia meminta Kementerian Kesehatan untuk segera turun tangan dan menyelidiki permasalahan ini.
Transparansi Anggaran dan Kesejahteraan Tenaga Kesehatan
Edy Wuryanto meminta agar Kementerian Kesehatan segera menindaklanjuti permasalahan ini. Ia juga menekankan pentingnya transparansi anggaran dalam pengelolaan remunerasi tenaga kesehatan. "Jika memang ada kendala anggaran, mari kita lihat transparansinya. Jangan sampai kebijakan ini justru menunjukkan ketidakadilan dan mengorbankan tenaga medis atau tenaga kesehatan yang sudah menjadi ujung tombak pelayanan," katanya.
Pemotongan THR dan remunerasi berdampak pada penurunan kesejahteraan tenaga kesehatan, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya motivasi dan kinerja tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Oleh karena itu, DPR RI akan terus memantau perkembangan situasi ini dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi hak dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
Anggota Komisi IX DPR RI akan terus mengawasi dan memastikan agar permasalahan ini segera terselesaikan. Hal ini penting untuk menjaga kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia dan mendukung transformasi kesehatan yang berkelanjutan. Transparansi dan keadilan dalam sistem penggajian tenaga kesehatan menjadi kunci utama dalam mewujudkan hal tersebut.