Peta Jalan Perlindungan Anak Daring Dinilai Belum Cukup Tangani Tantangan di Daerah
Direktur Eksekutif PKPA menilai peta jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring (PARD) belum sepenuhnya menjawab tantangan perlindungan anak di daerah, terutama dalam penanganan kasus kekerasan daring.

Jakarta, 24 April 2024 - Direktur Eksekutif Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Keumala Dewi, menyoroti peta jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring (PARD) yang tengah disusun pemerintah. Menurutnya, peta jalan tersebut belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan perlindungan anak di daerah, khususnya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan di dunia maya.
Dalam seminar nasional bertajuk 'Dari Refleksi Jadi Aksi: Tantangan Digital dan Solusi dalam Konteks Lokal dan Nasional dalam Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak', Keumala Dewi menyatakan, "Kalau menurut kami belum ya. Belum bisa dikatakan sebagai satu-satunya jawaban."
Ia menjelaskan bahwa peta jalan PARD masih bersifat umum dan belum mengakomodasi kondisi serta kebutuhan spesifik perlindungan anak di berbagai wilayah Indonesia. Keumala Dewi menekankan perlunya review dan penyesuaian peta jalan agar sesuai konteks terkini dan mendukung pelaksanaan undang-undang yang berlaku.
Kesulitan Implementasi di Daerah
Keumala Dewi mengungkapkan adanya kesenjangan antara kebijakan nasional dan implementasinya di tingkat lokal, terutama dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak di ranah daring. Banyak kasus di daerah yang tidak tertangani secara optimal karena aparat penegak hukum mengalami kesulitan menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ia mencontohkan dilema dalam penerapan hukum ketika menghadapi kasus-kasus yang melibatkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Anak. "Ketika kasusnya akan dituntut menggunakan undang-undang ITE, maka Undang-Undang Perlindungan Anaknya akan gugur. Atau kalau dituntut menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang ITE-nya gugur. Polisi di tingkat lokal menganggap dua undang-undang ini yang sama-sama berlaku khusus, tidak bisa diterapkan dalam satu kasus," jelas Keumala Dewi.
Kondisi ini menunjukkan perlunya pelatihan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi aparat penegak hukum di daerah terkait peraturan perundang-undangan yang relevan dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak di dunia maya. Koordinasi antar lembaga juga sangat krusial untuk memastikan penanganan kasus yang efektif dan terintegrasi.
Seminar Nasional: Mencari Solusi Perlindungan Anak
Seminar nasional yang diselenggarakan PKPA menghadirkan berbagai narasumber terkemuka. Di antaranya, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ahli hukum pidana anak Ahmad Sofyan, dan staf Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Fitra Andika. Para narasumber diharapkan dapat memberikan masukan dan solusi konkret untuk mengatasi tantangan perlindungan anak di era digital.
Diskusi dalam seminar ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan yang lebih komprehensif dan efektif dalam melindungi anak-anak Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan di ranah daring. Perlindungan anak merupakan tanggung jawab bersama, dan kolaborasi antar lembaga pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta sangat penting untuk menciptakan lingkungan daring yang aman bagi anak.
Kesimpulannya, peta jalan PARD perlu direvisi agar lebih responsif terhadap kondisi di daerah dan memberikan panduan yang jelas bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak di dunia maya. Hal ini membutuhkan komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak untuk memastikan perlindungan anak di Indonesia, khususnya di era digital yang semakin kompleks.