Polri Tangguhkan Penahanan Mahasiswi ITB, Komisi III DPR Apresiasi Langkah Restorative Justice
Komisi III DPR RI mengapresiasi penangguhan penahanan mahasiswi ITB oleh Kapolri, yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice, meskipun kritiknya dinilai sudah melampaui batas.

Mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS yang ditahan karena unggahan meme yang dianggap menyinggung Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, kini telah mendapatkan penangguhan penahanan. Keputusan ini diambil oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dan mendapat apresiasi dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni. Peristiwa ini terjadi di Jakarta pada 11 Mei 2025, dan diselesaikan melalui pendekatan restorative justice.
Ahmad Sahroni mengakui bahwa kritik yang disampaikan mahasiswi tersebut telah melampaui batas kewajaran. Namun, ia mengapresiasi langkah Kapolri yang memberikan penangguhan penahanan. Sahroni sebelumnya juga telah menyarankan agar kasus ini diselesaikan dengan pendekatan restorative justice, sebuah metode penyelesaian konflik yang mengedepankan pemulihan hubungan dan keadilan restoratif. “Sangat baik yang dilakukan Pak Kapolri karena sebelumnya saya juga telah menyampaikan agar diselesaikan melalui pendekatan restorative justice,” ujar Sahroni dalam keterangan tertulis.
Meskipun demikian, Sahroni menekankan pentingnya menyampaikan kritik secara santun dan bertanggung jawab. Ia berharap kejadian serupa tidak terulang lagi. “Semoga kejadian seperti ini tidak terulang lagi kepada siapa pun,” katanya. Ia menegaskan kembali hak mahasiswa untuk mengkritik, namun dengan cara yang baik dan sopan. “Silakan menyampaikan kritik, tetapi menggunakan cara yang baik dan sopan,” tegas Sahroni.
Apresiasi DPR dan Penangguhan Penahanan
Penangguhan penahanan terhadap SSS dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, menyatakan bahwa penangguhan penahanan diberikan pada Minggu, 11 Mei 2025. Keputusan ini diambil berdasarkan permohonan dari tersangka SSS melalui penasihat hukumnya dan orang tuanya.
Langkah Polri ini mendapat apresiasi positif dari Komisi III DPR RI. Mereka melihat pendekatan restorative justice sebagai solusi yang tepat dalam kasus ini. Hal ini menunjukkan komitmen Polri dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan mahasiswa, dengan mempertimbangkan hak-hak mereka untuk menyampaikan pendapat.
Proses restorative justice ini diharapkan dapat memberikan pembelajaran bagi semua pihak, baik bagi mahasiswa dalam menyampaikan kritik maupun bagi penegak hukum dalam meresponnya. Penting untuk diingat bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan rasa tanggung jawab dan kesantunan.
Kritik Mahasiswa dan Batas Kewajaran
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Mahasiswa memiliki hak untuk menyampaikan kritik, namun kritik tersebut harus disampaikan dengan cara yang beretika dan tidak melanggar hukum. Unggahan meme yang dibuat SSS dianggap telah melewati batas kewajaran, meskipun kritiknya bermuatan politik.
Peristiwa ini menjadi pengingat bagi semua pihak untuk bijak dalam menggunakan media sosial dan menyampaikan pendapat. Penting untuk memahami konsekuensi dari setiap tindakan dan ucapan, serta selalu mengedepankan etika dan kesopanan dalam berkomunikasi.
Kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental, namun hak tersebut tidaklah tanpa batas. Terdapat batasan-batasan hukum yang harus dipatuhi, dan penting bagi setiap individu untuk memahami batasan tersebut. Dalam kasus ini, pendekatan restorative justice diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif dan bijaksana.
Kesimpulan
Penangguhan penahanan mahasiswi ITB oleh Polri dan apresiasi dari Komisi III DPR RI atas penggunaan pendekatan restorative justice menandai pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menyampaikan kritik secara santun dan bertanggung jawab, serta memahami konsekuensi dari setiap tindakan di ruang publik, khususnya di media sosial.