Putusan MK Pilkada Ulang di 24 Daerah: Tepat dan Berani, Biaya Capai Rp1 Triliun
Anggota DPR Apresiasi Putusan MK Pilkada Ulang di 24 daerah, meskipun membutuhkan biaya hingga Rp1 triliun, menekankan pentingnya profesionalitas penyelenggara pemilu.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah 2024. Keputusan ini diambil setelah proses persidangan yang terbuka untuk publik. Anggota Komisi II DPR RI, Mohammad Toha, menilai putusan tersebut berani dan tepat, meskipun menimbulkan biaya yang signifikan.
Total 15 daerah wajib melaksanakan PSU penuh, 9 daerah PSU di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan 2 daerah menggelar pilkada ulang karena kemenangan kotak kosong. Biaya keseluruhan PSU diperkirakan mencapai Rp1 triliun, meliputi anggaran KPU sebesar Rp486 miliar dan Bawaslu Rp206 miliar, belum termasuk biaya pilkada ulang di Kota Padang Sidempuan dan Kabupaten Bangka.
Toha menekankan bahwa proses persidangan di MK berlangsung adil dan transparan, sesuai prinsip audi et alteram partem, dengan persidangan yang terbuka untuk umum dan disiarkan langsung di televisi. Ia juga mengingatkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Respon Positif dan Kritik Terhadap Putusan MK
Meskipun sebagian pihak mempertanyakan dasar putusan MK, khususnya terkait keabsahan persyaratan pencalonan, Toha meminta semua pihak menghargai keputusan tersebut. Ia menekankan pentingnya pembelajaran dari putusan ini bagi penyelenggara pemilu untuk meningkatkan profesionalitas ke depannya. "Putusan ini harus menjadi pelajaran terbaik untuk kinerja penyelenggara pemilu agar lebih profesional," ucapnya.
Toha juga menyoroti berbagai jenis pelanggaran yang menyebabkan putusan PSU, tidak hanya kesalahan penghitungan suara, tetapi juga kesalahan administrasi, bahkan pelanggaran netralitas pejabat negara. Ia menegaskan bahwa kesalahan administrasi dan pelanggaran netralitas merupakan tindakan yang dapat dipidana.
Ia menambahkan, "Kesalahan administrasi kategori malaadministrasi dan dapat dipidana. Pun dengan pelanggaran netralitas oleh pejabat negara, pejabat daerah, dan TNI/Polri dalam pilkada juga dapat diberi sanksi pidana."
Biaya PSU Mencapai Rp1 Triliun
Anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan PSU di 24 daerah mencapai angka yang fantastis, yaitu sekitar Rp1 triliun. Angka ini mencakup anggaran yang diajukan oleh KPU dan Bawaslu untuk menyelenggarakan PSU kembali. Besarnya biaya ini menjadi sorotan tersendiri, mengingat berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi negara.
Rincian anggaran tersebut meliputi Rp486 miliar dari KPU dan Rp206 miliar dari Bawaslu. Namun, angka tersebut belum termasuk biaya pilkada ulang di dua daerah akibat kemenangan kotak kosong, sehingga total biaya diperkirakan mencapai Rp1 triliun. Besarnya biaya ini menunjukkan kompleksitas dan skala besar dari proses pemungutan suara ulang di berbagai daerah.
Meskipun demikian, Toha tetap menekankan pentingnya menegakkan prinsip keadilan dan transparansi dalam proses pemilihan umum. Biaya yang besar tersebut dianggap sebagai konsekuensi dari upaya untuk memastikan integritas dan validitas hasil pemilihan kepala daerah.
Pentingnya Profesionalitas Penyelenggara Pemilu
Toha memberikan apresiasi atas putusan MK yang dianggap berani dan tepat. Namun, ia juga menekankan pentingnya pembelajaran dari kejadian ini bagi penyelenggara pemilu. Kejadian ini menjadi momentum untuk meningkatkan profesionalitas dan mencegah terulangnya kesalahan serupa di masa mendatang.
Berbagai pelanggaran yang menyebabkan PSU, mulai dari kesalahan administrasi hingga pelanggaran netralitas pejabat, menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas dan pengawasan yang lebih ketat dalam penyelenggaraan pemilu. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia.
Dengan demikian, putusan MK ini diharapkan dapat menjadi pendorong bagi penyelenggara pemilu untuk terus meningkatkan kualitas kerjanya dan memastikan pelaksanaan pemilu yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan publik dan terselenggaranya proses demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Putusan MK yang final dan mengikat ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait. Profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu menjadi kunci utama dalam mewujudkan proses demokrasi yang lebih baik di masa mendatang.