Rupiah Berpotensi Menguat: Aksi Buy on Dip di Tengah Ancaman Tarif Trump
Pengamat pasar uang memprediksi penguatan rupiah akibat aksi beli saat harga turun (buy on dip) meskipun ancaman tarif dari Presiden Trump masih membayangi.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan potensi penguatan seiring dengan aksi buy on dip atau pembelian saat harga turun. Hal ini terjadi di tengah ancaman penerapan kebijakan tarif impor yang lebih tinggi oleh Presiden AS Donald Trump terhadap Meksiko, Kanada, dan China. Penguatan rupiah terlihat pagi ini, sejalan dengan penguatan mata uang negara berkembang (emerging market) lainnya dan indeks saham Asia yang positif.
Ariston Tjendra, seorang pengamat pasar uang, menjelaskan bahwa pelaku pasar kembali berinvestasi pada aset berisiko, termasuk rupiah. Menurutnya, hal ini merupakan aksi buy on dip karena harga telah tertekan cukup dalam. "Di tengah ancaman penerapan kenaikan tarif dari Presiden Trump untuk Meksiko, Kanada dan China, pelaku pasar kembali masuk ke aset berisiko pagi ini. Bisa saja ini sebagai aksi buy on dip karena harga telah tertekan cukup dalam," ungkap Ariston kepada ANTARA di Jakarta, Senin.
Meskipun demikian, potensi penguatan rupiah tetap perlu diwaspadai. Ancaman kebijakan tarif AS masih ada dan berpotensi memberikan tekanan pada aset berisiko di masa mendatang. "Sentimen ini bakal terus memberikan tekanan ke aset berisiko ke depannya," ujar Ariston menambahkan. Penguatan rupiah pada pembukaan perdagangan hari Senin di Jakarta mencapai 56 poin atau 0,34 persen, menjadi Rp16.540 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.596 per dolar AS.
Analisis Penguatan Rupiah dan Prospek ke Depan
Ariston memprediksi kurs rupiah akan menguat ke arah Rp16.500 per dolar AS, dengan potensi resistensi di kisaran Rp16.600. Prediksi ini didasarkan pada aksi buy on dip yang terjadi di tengah tekanan sentimen negatif dari kebijakan tarif AS. Namun, ia mengingatkan bahwa sentimen negatif tersebut masih akan terus membayangi pergerakan pasar.
Pelemahan rupiah beberapa hari terakhir, yang diakibatkan oleh sentimen eksternal, sebenarnya telah diprediksi sejak tahun lalu. Ariston menilai pelemahan ini masih terbilang wajar mengingat sentimen negatif yang masih membayangi dan kehati-hatian pasar terhadap perkembangan ekonomi dalam negeri. "Sentimen-sentimen tersebut masih membayangi pergerakan pasar hingga saat ini. Apalagi, pasar masih skeptis dengan perkembangan ekonomi dalam negeri. Jadi, pelemahan rupiah ini ya masih terbilang wajar," katanya.
Meskipun potensi penguatan terlihat, investor perlu tetap berhati-hati. Ketidakpastian kebijakan ekonomi global, khususnya dari AS, masih menjadi faktor utama yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Perkembangan ekonomi domestik juga perlu diperhatikan untuk menentukan arah pergerakan rupiah ke depannya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pergerakan Rupiah
- Kebijakan Tarif AS: Ancaman kenaikan tarif impor oleh AS terhadap beberapa negara masih menjadi sentimen negatif utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah.
- Sentimen Pasar: Kepercayaan investor terhadap aset berisiko, termasuk rupiah, sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global dan domestik.
- Aksi Buy on Dip: Strategi investasi buy on dip dapat memberikan dampak positif pada penguatan rupiah, namun bersifat sementara.
- Perkembangan Ekonomi Domestik: Kinerja ekonomi dalam negeri turut mempengaruhi kepercayaan investor terhadap rupiah.
Kesimpulannya, meskipun rupiah berpotensi menguat dalam jangka pendek akibat aksi buy on dip, investor perlu tetap waspada terhadap berbagai faktor eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah. Pemantauan terhadap perkembangan ekonomi global dan domestik sangat penting untuk mengantisipasi fluktuasi kurs rupiah di masa mendatang.