Rupiah Melemah: Risiko Tarif AS dan Sentimen Dalam Negeri Jadi Biang Keladi
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh kekhawatiran investor terhadap potensi kenaikan tarif perdagangan AS dan sentimen negatif dalam negeri menjelang Lebaran.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah. Pada penutupan perdagangan Senin, 24 Maret, rupiah terdepresiasi 66 poin (0,40 persen) menjadi Rp16.568 per dolar AS. Pelemahan ini, menurut Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi, dipengaruhi oleh dua faktor utama: sikap hati-hati investor terhadap potensi risiko tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) dan sentimen dalam negeri yang kurang kondusif menjelang Lebaran.
Ibrahim menjelaskan bahwa pelaku pasar internasional bersikap waspada terhadap rencana Presiden Donald Trump untuk menerapkan tarif timbal balik mulai 2 April. Meskipun Trump telah mengulang ancaman tersebut, pasar masih meragukan komitmennya mengingat perubahan kebijakan sebelumnya terhadap Kanada dan Meksiko. Ancaman ini berpotensi meningkatkan perang dagang global dan berdampak negatif pada perekonomian Indonesia.
Selain itu, sentimen dalam negeri juga turut memberikan tekanan terhadap rupiah. Banyaknya perusahaan yang bangkrut dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berdampak pada daya beli masyarakat yang masih belum sepenuhnya pulih sejak akhir tahun lalu. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa Lebaran, yang biasanya menjadi momentum peningkatan konsumsi, kini dibayangi oleh rendahnya daya beli.
Ancaman Tarif AS dan Respon Global
Ancaman tarif AS yang diutarakan oleh Presiden Trump menimbulkan kekhawatiran di pasar global. Tiongkok dan Uni Eropa, sebagai dua kekuatan ekonomi besar, telah mempersiapkan langkah-langkah balasan untuk menghadapi potensi kebijakan proteksionis AS. Hal ini menunjukkan meningkatnya ketegangan perdagangan internasional yang berisiko mengganggu stabilitas ekonomi global, termasuk Indonesia.
Pasar keuangan internasional mencerminkan ketidakpastian ini dengan fluktuasi nilai tukar mata uang berbagai negara. Rupiah, sebagai mata uang negara berkembang, rentan terhadap sentimen negatif di pasar global. Ketidakpastian kebijakan AS membuat investor cenderung lebih berhati-hati dan mengurangi investasi di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Meskipun Bank Indonesia (BI) telah berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui berbagai kebijakan, tekanan dari eksternal dan internal tetap menjadi tantangan. BI terus memantau perkembangan situasi global dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan domestik.
Sentimen Dalam Negeri dan Dampaknya terhadap Rupiah
Sentimen negatif dalam negeri, khususnya terkait dengan daya beli masyarakat yang masih lesu, juga berkontribusi terhadap pelemahan rupiah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan deflasi selama lima bulan berturut-turut pada tahun 2024 (Mei-September) dan berlanjut hingga awal tahun 2025. Kondisi ini menunjukkan perlambatan ekonomi domestik yang berdampak pada konsumsi masyarakat.
Lebaran, yang biasanya menjadi periode peningkatan konsumsi dan aktivitas ekonomi, kini dibayangi oleh rendahnya daya beli. Sektor-sektor seperti ritel, pariwisata, akomodasi, makanan dan minuman, serta transportasi yang biasanya mengalami peningkatan signifikan selama Lebaran, berpotensi terdampak negatif oleh kondisi ekonomi saat ini. Hal ini semakin memperlemah daya tahan rupiah terhadap tekanan eksternal.
Ibrahim Assuabi menekankan pentingnya pemerintah dan Bank Indonesia untuk terus memantau perkembangan ekonomi dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi domestik. Dengan demikian, Indonesia dapat lebih siap menghadapi tantangan global dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Secara keseluruhan, pelemahan rupiah saat ini merupakan cerminan dari kompleksitas tantangan ekonomi global dan domestik. Baik risiko tarif AS maupun sentimen dalam negeri yang kurang kondusif menjelang Lebaran, sama-sama memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ke depan, diperlukan strategi yang komprehensif untuk menghadapi tantangan ini dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.