Rupiah Melemah: Tren Proteksionisme Global dan Faktor Domestik Jadi Biang Keladi
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai 0,27 persen disebabkan oleh tren proteksionisme global dan sentimen domestik, terutama terkait pertumbuhan ekonomi dan kebijakan fiskal.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah. Pada penutupan perdagangan Selasa, 25 Maret 2025, rupiah terdepresiasi 44 poin atau 0,27 persen, ditutup pada level Rp16.612 per dolar AS. Pelemahan ini, menurut Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi, disebabkan oleh kombinasi tantangan global dan sentimen domestik yang menekan kurs rupiah.
Ibrahim menjelaskan bahwa tren proteksionisme global, khususnya kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump, turut memberikan tekanan signifikan terhadap nilai tukar rupiah. Ancaman kebijakan tarif ini, dikombinasikan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang direvisi turun, telah meningkatkan kekhawatiran investor.
Lebih lanjut, Ibrahim menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan hanya mencapai 4,9 persen pada 2025 dan 2026 (turun dari proyeksi sebelumnya 5,1 persen dan 5,15 persen), turut menjadi faktor penyebab pelemahan rupiah. Hal ini menunjukkan outlook investasi yang kurang menguntungkan dan peningkatan risiko perdagangan.
Ancaman Proteksionisme dan Sentimen Domestik
Ibrahim Assuabi memaparkan bahwa pelemahan rupiah bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal. Sentimen domestik juga turut berperan, terutama terkait dengan kebijakan fiskal pemerintah. Ia menuturkan bahwa inisiatif fiskal ekspansif yang diambil telah berdampak pada pemotongan anggaran di sektor-sektor penting seperti pendidikan dan pekerjaan umum.
Pemotongan anggaran tersebut, menurut Ibrahim, telah menyebabkan penurunan tajam di pasar saham dan meningkatkan kekhawatiran investor. Kondisi ini diperparah dengan arus pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di industri padat karya, yang berdampak pada melemahnya konsumsi rumah tangga dan permintaan kredit.
Ketidakpastian politik, baik di Indonesia maupun AS, juga ikut memperburuk situasi. Meskipun Bank Indonesia telah melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi, kekhawatiran investor tetap tinggi.
"Walaupun Bank Indonesia telah melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi di perdagangan DNDF (Domestic Non Deliverable Forward), namun kekhawatiran investor telah meningkat karena inisiatif fiskal ekspansif Presiden Prabowo Subianto telah menyebabkan pemotongan anggaran yang signifikan di sektor-sektor penting seperti pendidikan dan pekerjaan umum. Akibatnya, pasar saham mengalami penurunan tajam terus-menerus bulan ini," ungkap Ibrahim.
Prospek Ke Depan dan Kebijakan Tarif AS
Pada awal April 2025, diperkirakan tensi ketegangan perdagangan global akan meningkat seiring dengan kebijakan tarif timbal balik dari AS, meskipun beberapa negara mungkin mendapatkan keringanan. Ibrahim menjelaskan bahwa Presiden Trump berencana untuk menerapkan pendekatan yang lebih selektif dalam penerapan tarif.
Pemerintahan Trump, kata Ibrahim, diprediksi akan lebih fokus pada negara-negara dengan ketidakseimbangan perdagangan yang signifikan dengan AS. Hal ini tentu saja masih menyimpan potensi risiko bagi perekonomian Indonesia dan nilai tukar rupiah.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari Selasa juga menunjukkan pelemahan, mencapai Rp16.622 per dolar AS, naik dari Rp16.561 per dolar AS sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan tren pelemahan rupiah yang perlu diwaspadai.
Secara keseluruhan, pelemahan rupiah merupakan cerminan dari kompleksitas tantangan ekonomi global dan domestik. Perlu adanya langkah-langkah strategis dan antisipatif baik dari pemerintah maupun Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ke depannya.