Rupiah Menguat: Klaim Pengangguran AS dan Kebijakan Tarif Trump Jadi Penentu
Nilai tukar rupiah menguat signifikan karena data klaim pengangguran AS yang lebih rendah dari perkiraan dan meredanya kekhawatiran atas kebijakan tarif Presiden Trump, meskipun data ekonomi domestik menunjukkan beberapa kelemahan.

Jakarta, 21 Februari 2025 - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) kembali menunjukkan penguatan, ditutup pada level Rp16.313 per USD, menguat 25 poin atau 0,15 persen dibandingkan penutupan sebelumnya. Penguatan ini didorong oleh beberapa faktor, baik dari dalam maupun luar negeri, menurut analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong.
Lukman menjelaskan bahwa data ekonomi AS yang lebih lemah dari perkiraan menjadi salah satu faktor utama penguatan rupiah. Klaim pengangguran AS tercatat 219 ribu, lebih tinggi dari perkiraan 214 ribu, sementara indeks manufaktur mencapai 18,1, di bawah perkiraan 20. Data ini mengindikasikan pelemahan ekonomi AS yang berdampak pada melemahnya dolar AS di pasar internasional.
Selain itu, meredanya kekhawatiran atas kebijakan tarif proteksionis Presiden AS Donald Trump juga turut berkontribusi pada penguatan rupiah. Meskipun belum sepenuhnya hilang, penurunan agresivitas Trump dan kemungkinan kompromi dengan negara lain mengurangi tekanan terhadap pasar valuta asing global, termasuk rupiah.
Faktor Internal dan Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia
Meskipun terdapat sentimen positif dari luar negeri, beberapa data ekonomi domestik menunjukkan kelemahan. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Januari 2025 turun menjadi 0,76 persen year on year (yoy), lebih rendah dari 1,57 persen (yoy) pada bulan sebelumnya. Data perdagangan juga menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan, meskipun masih surplus. Surplus tersebut disebabkan oleh impor yang jauh lebih kecil dari perkiraan, bukan karena peningkatan ekspor yang signifikan.
Namun, secara keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada 2024 mencatat surplus sebesar 7,2 miliar dolar AS, meningkat dari surplus 6,3 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya. Transaksi modal dan finansial juga menunjukkan surplus yang signifikan, mencapai 16,4 miliar dolar AS, meningkat dari 9,9 miliar dolar AS pada 2023. Meskipun demikian, transaksi berjalan masih mencatat defisit sebesar 8,9 miliar dolar AS (0,6 persen dari PDB), meskipun lebih rendah dibandingkan defisit 2,0 miliar dolar AS (0,1 persen dari PDB) pada 2023.
Lukman menambahkan bahwa beberapa kebijakan pemerintah juga berpotensi mendukung penguatan rupiah. Peraturan Pemerintah Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam (SDA) sebesar 100 persen dalam satu tahun, serta keberadaan bank bullion, diharapkan dapat meningkatkan cadangan devisa dan mendorong masyarakat menyimpan emas di dalam negeri, bukan di luar negeri.
Penguatan Rupiah dan JISDOR
Penguatan rupiah juga terlihat pada Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, yang menguat ke level Rp16.300 per dolar AS dari Rp16.344 per dolar AS sebelumnya. Hal ini menunjukkan tren positif nilai tukar rupiah yang didukung oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Secara keseluruhan, penguatan rupiah merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor global dan domestik. Meskipun data ekonomi domestik menunjukkan beberapa kelemahan, sentimen positif dari luar negeri, terutama meredanya kekhawatiran atas kebijakan tarif AS dan data ekonomi AS yang lebih lemah dari perkiraan, berhasil mendorong penguatan nilai tukar rupiah.