Sepiring Kedaulatan: Makan Bergizi Gratis di Papua dan Tantangannya
Program Makan Bergizi Gratis di Papua menuai pro-kontra, dengan tantangan implementasi dan pentingnya pemberdayaan masyarakat lokal untuk keberhasilannya.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Papua, sebuah inisiatif pemerintah pusat, menimbulkan beragam reaksi. Pube, siswa kelas 1 SD di Nabire, Papua Tengah, misalnya, antusias menerima MBG dan bercita-cita menjadi tentara. Namun, di sisi lain, rendahnya angka partisipasi sekolah (APS) di beberapa wilayah Papua menjadi sorotan, dengan beberapa kabupaten/kota memiliki APS jauh di bawah rata-rata nasional. Ketidakhadiran siswa di sekolah seringkali disebabkan karena mereka datang tanpa sarapan, bahkan hingga pingsan di kelas.
Rendahnya APS ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu. Banyak orang tua yang harus bekerja keras sejak pagi untuk menghidupi keluarga, sehingga anak-anak mereka seringkali berangkat sekolah tanpa sarapan. Kondisi ini mengakibatkan penurunan fokus belajar dan kesehatan siswa, yang berdampak pada partisipasi mereka di sekolah. Beberapa sekolah telah berupaya mengatasi masalah ini dengan inisiatif lokal, seperti menyisihkan dana kecil setiap hari untuk menyediakan makanan bergizi bagi siswa.
Namun, program MBG yang dicanangkan pemerintah pusat juga menghadapi tantangan. Di beberapa wilayah, program ini bahkan ditolak oleh masyarakat. Penolakan ini muncul karena beberapa hal, termasuk kurangnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan program, serta tuntutan agar pendidikan gratis diprioritaskan. Selain itu, di beberapa daerah konflik, masyarakat menuntut agar wewenang pemberian MBG diserahkan kepada yayasan atau masyarakat adat.
Tantangan Implementasi MBG di Papua
Rendahnya angka partisipasi sekolah di Papua, khususnya di Papua Tengah dan Papua Pegunungan, menjadi perhatian serius. Data BPS tahun 2024 menunjukkan APS 16-18 tahun di bawah 70 persen di kedua provinsi tersebut. Beberapa kabupaten/kota bahkan memiliki APS 13-15 tahun yang jauh di bawah rata-rata nasional. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya siswa yang datang ke sekolah tanpa sarapan, mengakibatkan mereka sering pingsan atau tidak fokus dalam belajar.
Kepala SD Negeri Inpres Waroki Maria Goreti Gunu menuturkan bahwa sebelum program MBG, sekolahnya telah menerapkan program makan bergizi dengan dana terbatas dari sekolah. Sekolah menyisihkan Rp1.000 per hari untuk membeli bahan makanan, yang dikelola oleh komite sekolah dan diawasi oleh ahli gizi. Program ini terbukti efektif meningkatkan kehadiran dan fokus belajar siswa. Namun, model ini perlu dipertimbangkan untuk diterapkan secara lebih luas dalam program MBG.
Program MBG yang melibatkan orang tua dan komite sekolah dinilai lebih efektif karena mereka memahami kebutuhan anak-anak mereka. Pengalaman program gizi anak sekolah sebelumnya (2016-2019) menunjukkan bahwa pola memasak di sekolah dengan melibatkan guru dan orang tua siswa, serta memanfaatkan bahan pangan lokal, dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan UMKM.
Pelibatan lembaga masyarakat adat (LMA) juga dianggap penting untuk keberhasilan program MBG. LMA dapat berperan dalam mengawasi program dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal. Kolaborasi antara sekolah, orang tua, komite sekolah, dan LMA akan menciptakan sinergi yang lebih kuat dalam implementasi program.
Mencari Solusi yang Berkelanjutan
Program MBG di Papua tidak hanya tentang pembagian makanan gratis, tetapi juga tentang pemberdayaan masyarakat. Penolakan terhadap program ini di beberapa wilayah menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih komunal dan partisipatif. Sosialisasi yang intensif dan pelibatan masyarakat adat sangat penting untuk mengatasi penolakan dan memastikan keberhasilan program.
Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menyerahkan pengelolaan MBG kepada sekolah, komite sekolah, dan orang tua, dengan pengawasan dari ahli gizi. Model ini akan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal dan meningkatkan rasa memiliki di masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat secara penuh, program MBG dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan.
Program MBG di Papua harus dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah dan menurunkan angka stunting. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada pelibatan masyarakat, termasuk LMA, sekolah, dan orang tua siswa. Dengan pendekatan yang tepat, MBG dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan sosial di Papua.
Pendekatan yang lebih komunal dan partisipatif, dengan melibatkan masyarakat adat dan sekolah, akan meningkatkan keberhasilan program MBG. Dengan demikian, sepiring makanan bergizi tidak hanya mengisi perut, tetapi juga membangun masa depan generasi Papua.