Siasat Berkuasa ala Robert Greene: Panduan atau Peringatan?
Buku "48 Laws of Power" karya Robert Greene memberikan wawasan tajam tentang strategi berkuasa, namun perlu dimaknai secara bijak agar tidak disalahgunakan.

Buku "48 Laws of Power" karya Robert Greene telah menjadi perbincangan hangat. Buku ini merangkum siasat berkuasa dari tokoh-tokoh berpengaruh sepanjang sejarah, mulai dari Machiavelli hingga Sun Tzu. Penerjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia oleh Nadya Andwiani dan diterbitkan oleh Renebook, telah dicetak ulang lima kali di tahun 2024, membuktikan popularitasnya.
Memahami Strategi Kekuasaan
Greene tidak memberikan panduan moral, melainkan gambaran realistis tentang dinamika kekuasaan. Ia mengupas bagaimana kekuasaan bekerja dalam berbagai interaksi sosial, baik secara halus maupun terang-terangan. Buku setebal 276 halaman ini menyajikan 48 hukum kekuasaan, diilustrasikan dengan anekdot sejarah dan dilengkapi gambar unik yang dibentuk dari deskripsi naratif. Namun, seperti yang ditekankan oleh A. Setyo Wibowo, pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, nasihat dalam buku ini tidak boleh ditelan mentah-mentah. Penggunaan yang salah dapat berdampak negatif.
Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menyatakan bahwa buku ini berbahaya namun penting. Berbahaya jika disalahgunakan untuk eksploitasi, tetapi penting untuk memahami karakter, gaya, dan siasat kekuasaan. Buku ini mengajarkan bahwa kepolosan seringkali menjadi korban kecerdikan. Salah satu kutipan Greene berbunyi, "Giring mereka cukup jauh ke jalan yang salah, selubungi mereka dalam tabir asap secukupnya, sehingga pada saat mereka menyadari niat Anda, semuanya sudah terlambat."
Lebih dari Sekadar Manipulasi
Buku ini tidak sekadar mengajarkan manipulasi, tetapi juga pemahaman tentang dinamika kekuasaan. Greene memaparkan kisah-kisah Napoleon, Machiavelli, Sun Tzu, dan lainnya, menunjukkan bagaimana kekuasaan bukan hanya dominasi, tetapi juga keluwesan membaca situasi. Ia mengajak pembaca merenungkan peran mereka sendiri dalam permainan kekuasaan. Meskipun dituduh sebagai panduan bagi manipulator, buku ini sebenarnya mendorong pembaca untuk memahami, bukan hanya mengikuti, hukum-hukum kekuasaan. Dengan pemahaman ini, seseorang dapat memilih perannya dalam permainan kekuasaan, menjadi predator atau setidaknya menghindari menjadi korban.
Gaya Bahasa dan Makna
Gaya bahasa Greene tajam dan indah, mengingatkan pada para pemikir besar. Ia tidak mengidealkan moralitas, tetapi menyajikan realitas tanpa tabir. Buku ini mungkin terasa dingin bagi pembaca yang terbiasa dengan bacaan motivasi yang manis, tetapi bagi mereka yang menginginkan pemahaman jujur tentang realitas sosial, buku ini menawarkan wawasan berharga. Dalam dunia kompetitif, memahami hukum kekuasaan menjadi kebutuhan, bukan untuk menindas, melainkan untuk bertahan.
Buku ini memberikan peta untuk memahami lanskap kekuasaan, bukan peta menuju kejayaan. Setiap orang memiliki cara sendiri dalam menyikapi kekuasaan, dan buku ini membantu melihatnya lebih jernih. Meskipun tidak menjamin kesuksesan, buku ini mempersiapkan pembaca menghadapi realitas yang tidak selalu sesuai harapan. A. Setyo Wibowo menambahkan bahwa nasihat Greene hanya efektif dalam sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat. Penerbit juga menekankan bahwa buku ini bukan hanya panduan berkuasa, tetapi juga cermin bagi jiwa manusia dan kompleksitas relasi antarmanusia.
Kesimpulan
"48 Laws of Power" adalah buku yang kompleks dan kontroversial. Ia menawarkan wawasan tajam tentang strategi berkuasa, tetapi membutuhkan pemahaman dan pertimbangan yang matang. Buku ini bukan resep untuk kesuksesan, melainkan alat untuk memahami dinamika kekuasaan dan membuat pilihan yang bijak dalam navigasi kehidupan.