Stigma Negatif Hambat Penanganan TBC di Indonesia
Stigma negatif terhadap pasien TBC menghambat keberhasilan penanganan penyakit ini di Indonesia; pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk mengatasi masalah ini melalui edukasi dan deteksi dini.
Stigma negatif terhadap penderita tuberkulosis (TBC) di Indonesia menjadi penghambat utama keberhasilan penanganannya. Hal ini disampaikan Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Ina Agustina Isturini, pada Selasa, 21 Januari, di Jakarta. Pernyataan ini menekankan pentingnya dukungan masyarakat untuk pasien TBC dan keluarga mereka, karena stigma justru memperparah situasi.
TBC masih menjadi masalah serius di Indonesia, dengan angka kematian yang tinggi dan diskriminasi yang kerap dialami para penderita. Namun, penting diingat bahwa TBC adalah penyakit yang dapat disembuhkan jika terdeteksi dan diobati secara tuntas. Deteksi dini melalui skrining sangat krusial untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Ina Agustina menjelaskan, pencegahan penularan TBC dilakukan dengan melacak kontak erat penderita yang positif. "Dicegah itu ketika ada kasus TBC yang positif langsung dicari siapa saja yang kontak dan siapa saja serumah dan kelompok tertentu yang berisiko tinggi terkena TBC," jelasnya. Langkah ini penting untuk memutus rantai penularan dan melindungi masyarakat.
Apabila Anda merasakan gejala TBC, segera periksakan diri ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat. Begitu pula, jika Anda pernah melakukan kontak dengan penderita TBC, laporkan hal ini agar dapat diberikan pengobatan pencegahan. Pengobatan yang tepat dan tuntas sangat penting, karena penderita TBC yang sudah menjalani pengobatan selama 1-2 bulan umumnya sudah tidak lagi menularkan penyakit tersebut.
Namun, tanpa pengobatan yang tepat, TBC akan terus menyebar. "Orang TBC kalau sudah diobati, 1-2 bulan dia sudah tidak menularkan lagi. Tetapi sebaliknya kalau tidak mengajukan pengobatan dengan tepat maka akan menyebar ke mana-mana," tegas Ina. Oleh karena itu, pengobatan harus dijalani dengan disiplin dan sesuai anjuran medis.
Pemerintah menyadari pentingnya edukasi dan kolaborasi untuk mengatasi masalah ini. Ina menekankan bahwa penanganan TBC membutuhkan kerjasama lintas sektor, dari pusat hingga daerah. Pelibatan akademisi, sektor swasta, masyarakat, dan media massa sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendukung upaya pencegahan dan pengendalian TBC.
Kesimpulannya, keberhasilan penanganan TBC di Indonesia sangat bergantung pada perubahan sikap masyarakat. Dengan menghilangkan stigma negatif, meningkatkan kesadaran, dan membangun kolaborasi yang kuat antar berbagai pihak, kita dapat memutus rantai penularan TBC dan menciptakan Indonesia yang lebih sehat.