Deteksi Dini: Kunci Pemberantasan TBC di Indonesia
Kemenkes menekankan pentingnya deteksi dini TBC untuk menekan angka kasus yang terus meningkat di Indonesia, menempati peringkat kedua tertinggi dunia setelah India, dengan berbagai strategi dan kolaborasi lintas sektor dijalankan.
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam memberantas Tuberkulosis (TBC). Direktur Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina, mengungkapkan bahwa deteksi dini kasus menjadi kunci utama dalam upaya ini. Pernyataan ini disampaikan Selasa lalu di Jakarta, menanggapi angka TBC di Indonesia yang terus meningkat.
Mengapa deteksi dini begitu penting? Karena TBC, penyakit yang sebenarnya dapat disembuhkan jika terdeteksi dan diobati secara tuntas, juga dapat dicegah melalui skrining atau deteksi dini. Keterlambatan deteksi berakibat fatal, memperparah penyebaran penyakit dan meningkatkan angka kematian.
Berdasarkan laporan Global Tuberkulosis Report 2024, Indonesia menempati peringkat kedua dunia dengan estimasi 1.090.000 kasus TBC dan 125.000 kematian pada tahun 2023. India berada di peringkat pertama dengan angka yang jauh lebih tinggi, yakni sekitar 2.800.000 kasus dan 315.000 kematian. Angka ini menunjukkan urgensi penanganan TBC di Indonesia.
Di tahun 2024, tercatat 860.100 kasus TBC terkonfirmasi di Indonesia, dengan 751.574 orang menjalani pengobatan. Meskipun angka pengobatan cukup tinggi, jumlah kasus yang masih signifikan menunjukkan perlunya strategi yang lebih efektif dalam deteksi dan pencegahan.
Ina Agustina juga menekankan bahwa permasalahan TBC bukan hanya di Indonesia, melainkan global. "Tidak hanya masalah nasional, tapi global, diperkirakan sekitar 1 miliar kematian akibat TBC secara global dalam 200 tahun terakhir," ungkap Ina. Hal ini memperkuat urgensi kolaborasi internasional dalam mengatasi wabah ini.
Salah satu tantangan dalam memberantas TBC adalah pemahaman masyarakat yang masih kurang. Deteksi dini sangat krusial untuk mencegah penularan antar individu. Oleh karena itu, pemerintah telah merumuskan strategi untuk mempercepat penanggulangan TBC, salah satunya adalah optimalisasi skrining aktif menggunakan X-ray yang terintegrasi dengan pemeriksaan genetis.
Pemerintah juga fokus pada integrasi data informasi TBC untuk mengurangi kasus yang tidak terlaporkan. "Terintegrasi dalam pemeriksaan kesehatan gratis ada skrining dan penemuan aktif menggunakan X-ray. Sehingga, diharapkan kita lebih luas untuk menyaring pasien," jelas Ina. Upaya ini diharapkan mampu menjangkau lebih banyak masyarakat dan mendeteksi kasus lebih dini.
Namun, penanganan TBC tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan sektor kesehatan. Kolaborasi pentahelix, yang melibatkan pemerintah, akademisi, swasta, masyarakat, dan media, sangat diperlukan. "Jadi, kolaborasi lintas sektor mulai dari pusat hingga daerah, pelibatan akademisi, swasta, masyarakat, hingga media perlu dalam upaya ini," tambah Ina. Kolaborasi ini diharapkan dapat menciptakan dampak yang lebih luas dan efektif.
Meskipun tantangan besar masih ada, Kemenkes optimistis bahwa dengan deteksi dini dan pengobatan berkelanjutan, prevalensi TBC dapat ditekan. Mereka juga menekankan pentingnya upaya promotif dan preventif, terutama pada kelompok berisiko tinggi seperti kontak erat penderita TBC, mereka yang tinggal serumah dengan penderita, dan penderita HIV, diabetes melitus, atau kekurangan gizi. Kelompok ini perlu menjalani pemeriksaan untuk memastikan tidak ada TBC aktif dan mengonsumsi obat pencegahan.