Sukses Vaksinasi DBD Kaltim, Tuai Apresiasi Empat Negara Asia
Program vaksinasi Demam Berdarah Dengue (DBD) Kalimantan Timur mendapatkan pengakuan internasional setelah diundang berbagi pengalaman oleh Singapura, Malaysia, Thailand, dan Jepang.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) patut berbangga. Program vaksinasi Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dijalankan telah menuai apresiasi dari empat negara Asia: Singapura, Malaysia, Thailand, dan Jepang. Keberhasilan ini membuktikan efektivitas program dan menarik perhatian dunia internasional. Hal ini ditandai dengan undangan untuk berbagi pengalaman dan strategi yang telah diterapkan.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim, Jaya Mualimin, membenarkan kabar tersebut. Dalam keterangannya di Samarinda, Sabtu, 3 Mei 2024, ia mengungkapkan bahwa undangan dari negara-negara tersebut merupakan bukti nyata keberhasilan program vaksinasi DBD Kaltim. "Vaksinasi DBD kita sudah diapresiasi oleh dunia internasional. Buktinya, kami diundang ke Singapura pada Februari lalu untuk menyampaikan bagaimana program ini berjalan," ujarnya.
Undangan ini bukan hanya dari satu negara. Setelah Singapura, Kaltim dijadwalkan menjadi narasumber di Penang, Malaysia pada Oktober mendatang. Thailand dan Jepang juga telah menyatakan minatnya untuk mengundang tim dari Kaltim. Hal ini menunjukkan bahwa Kaltim telah menjadi contoh implementasi vaksinasi DBD yang efektif dan patut ditiru.
Sukses Vaksinasi DBD Kaltim: Strategi dan Implementasi
Undangan dari empat negara tersebut memberikan kesempatan berharga bagi Kaltim untuk berbagi pengalaman, mulai dari perencanaan awal hingga keberhasilan implementasi vaksinasi DBD. Program ini telah berjalan di Samarinda dan Balikpapan, dan akan diperluas ke Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun ini. Sasaran utama program ini adalah anak-anak usia sekolah, mengingat tingginya potensi penularan di lingkungan sekolah.
Menurut Jaya Mualimin, efektivitas vaksinasi DBD di Kaltim sangat terlihat. "Dengan adanya vaksinasi ini, kita bisa mengurangi angka hospitalisasi akibat DBD. Selama hampir dua tahun berjalan, mereka yang sudah divaksinasi tidak pernah lagi terserang DBD, menandakan program ini berjalan efektif," jelasnya. Pemilihan anak usia sekolah sebagai target didasarkan pada data kasus DBD yang menunjukkan tingginya angka kasus pada kelompok usia tersebut. Hal ini mengingat nyamuk Aedes aegypti, pembawa virus DBD, aktif menggigit pada pagi hingga sore hari, waktu anak-anak biasanya berada di sekolah.
Lebih lanjut, Jaya Mualimin juga menjelaskan perbedaan strategi penanganan DBD di Kaltim dengan negara lain. Ia mencontohkan Singapura yang masih mengandalkan metode 3M Plus dan teknologi Wolbachia. "Di Singapura, Wolbachia sudah diterapkan selama 15 tahun, namun dinilai kurang efektif dibandingkan dengan vaksinasi," ucap Jaya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa strategi vaksinasi yang dijalankan Kaltim terbukti lebih efektif dalam menekan angka kasus DBD.
Perbedaan Strategi Penanganan DBD
Kaltim mengambil pendekatan yang berbeda dengan beberapa negara lain dalam menangani DBD. Sementara beberapa negara masih bergantung pada metode 3M Plus (menguras, menutup, dan memanfaatkan kembali tempat-tempat penampungan air) dan teknologi Wolbachia, Kaltim telah menunjukkan keberhasilan dengan program vaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa vaksinasi dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran DBD.
Keberhasilan program vaksinasi DBD di Kaltim bukan hanya sekadar prestasi lokal, tetapi juga telah diakui di tingkat internasional. Apresiasi dari empat negara Asia membuktikan bahwa model yang diterapkan di Kaltim dapat diadopsi dan diimplementasikan di negara lain untuk mengatasi masalah DBD.
Ke depan, diharapkan program vaksinasi DBD di Kaltim dapat terus ditingkatkan dan diperluas cakupannya agar lebih banyak masyarakat yang terlindungi dari penyakit ini. Selain itu, berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan negara lain akan semakin memperkuat upaya global dalam memerangi DBD.