Surabaya Perangi TBC: Sosialisasi Masif dan Kolaborasi Hexa Helix
Pemkot Surabaya gencar sosialisasikan pencegahan TBC lewat kolaborasi hexa helix, guna eliminasi penyakit ini di Surabaya dan dukung target nasional 2030, sekaligus ubah stigma negatif terhadap penderita.

Surabaya Bergerak Lawan TBC
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian Tuberkulosis (TBC) dengan gencar melakukan sosialisasi dan berkolaborasi dengan berbagai unsur, termasuk pendekatan hexa helix. Inisiatif ini bertujuan untuk mencapai eliminasi TBC di Surabaya dan mendukung target nasional eliminasi pada tahun 2030. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menekankan pentingnya upaya ini dalam mengatasi penyakit yang sulit dideteksi dan seringkali menimbulkan stigma negatif.
Mengapa Sosialisasi TBC Penting?
Penyakit TBC seringkali tidak terdeteksi karena penderita enggan mengakuinya, dikarenakan rasa malu, dan hal ini berakibat pada penularan ke keluarga dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, sosialisasi masif sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini dan pengobatan yang tepat. Pemkot Surabaya memanfaatkan berbagai media, termasuk media sosial, untuk menjangkau masyarakat secara luas.
Strategi Pemkot Surabaya dalam Penanggulangan TBC
Salah satu strategi Pemkot Surabaya adalah program RW 1 Nakes 1 (R1N1). Program ini bertujuan mendekatkan layanan kesehatan kepada warga, memudahkan deteksi dini penyakit, termasuk TBC. Wali Kota Eri Cahyadi menyebut program ini sebagai bagian dari 'Surabaya Bergerak', sebuah gerakan untuk meningkatkan kualitas kesehatan warga. Melalui R1N1, setiap RW dapat memonitor kondisi kesehatan warganya, termasuk mengidentifikasi potensi penderita TBC.
Mengubah Stigma Negatif Terhadap Penderita TBC
Pemkot Surabaya juga berupaya keras mengubah stigma negatif terhadap penderita TBC. Mereka menekankan bahwa TBC berbeda dengan COVID-19, sehingga tidak perlu isolasi di tempat khusus. Penderita TBC tetap dapat berinteraksi dengan orang lain asalkan menggunakan masker dan rutin mengonsumsi obat. Hal ini disampaikan oleh Wali Kota Eri Cahyadi, yang juga berkoordinasi dengan DPRD untuk mendukung pendekatan ini.
Kolaborasi Antar Sektor dalam Penanggulangan TBC
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina, menjelaskan bahwa penanggulangan TBC membutuhkan kolaborasi antar sektor. Tidak hanya kesehatan, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi perlu diperhatikan. Kegiatan sosialisasi dan edukasi ini bertujuan memperkuat sinergi dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat. Dukungan penuh kepada pasien agar rutin mengonsumsi obat hingga tuntas sangat krusial untuk mencapai target eliminasi TBC tahun 2030.
Capaian dan Tantangan Penanggulangan TBC di Surabaya
Hingga tahun 2024, tercatat 11.000 kasus TBC di Surabaya, termasuk kasus rujukan dari Indonesia Timur. Dari jumlah tersebut, sekitar 9.000 kasus berasal dari Surabaya sendiri. Meskipun 90 persen penderita sudah menjalani pengobatan, tantangannya adalah pengobatan jangka panjang yang dibutuhkan. Henti mengonsumsi obat dapat menyebabkan resistensi obat dan memperpanjang proses penyembuhan.
Kesimpulan
Pemkot Surabaya menunjukkan komitmen kuat dalam upaya eliminasi TBC melalui sosialisasi masif, kolaborasi hexa helix, dan program inovatif seperti R1N1. Mengubah stigma negatif dan memastikan pengobatan tuntas menjadi kunci keberhasilan program ini. Dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, sangat dibutuhkan untuk mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030.