Tahukah Anda, Jutaan Belum Terdiagnosis? Kemenkes Integrasikan Skrining Hepatitis Gratis ke Program Cek Kesehatan
Kementerian Kesehatan kini memperluas jangkauan program Cek Kesehatan Gratis dengan menambahkan Skrining Hepatitis Gratis. Langkah ini penting untuk deteksi dini dan eliminasi hepatitis di Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengambil langkah progresif dengan mengintegrasikan layanan deteksi dan pengendalian hepatitis ke dalam program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Inisiatif ini bertujuan untuk memperluas cakupan skrining serta mempercepat upaya eliminasi hepatitis B dan C di seluruh Indonesia. Integrasi ini diharapkan dapat memperkuat akses layanan kesehatan primer bagi masyarakat.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina Isturini, menyatakan bahwa langkah ini akan mempermudah identifikasi kelompok berisiko melalui skrining gratis di berbagai fasilitas kesehatan. Masyarakat kini dapat memeriksa tekanan darah, gula darah, kolesterol, dan juga hepatitis tanpa biaya tambahan. Ini merupakan terobosan penting dalam deteksi dini penyakit menular.
Program CKG yang diperluas ini menjadi jawaban atas tantangan besar dalam penanganan hepatitis di Tanah Air. Data Kemenkes menunjukkan bahwa hingga Juli 2025, sekitar 6,7 juta penduduk Indonesia terinfeksi hepatitis B dan 2,5 juta lainnya mengidap hepatitis C. Mayoritas dari angka tersebut belum terdiagnosis dan belum mendapatkan penanganan yang memadai, sehingga skrining hepatitis gratis menjadi sangat krusial.
Pentingnya Deteksi Dini dan Cakupan Kelompok Berisiko
Integrasi skrining hepatitis ke dalam program CKG memungkinkan individu dari kelompok berisiko tinggi untuk mengetahui status kesehatan mereka lebih awal. Kelompok-kelompok ini mencakup ibu hamil, tenaga kesehatan, pengguna narkoba suntik, dan narapidana. Deteksi dini sangat vital agar mereka dapat segera dirujuk untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Salah satu intervensi terintegrasi yang telah dilakukan Kemenkes adalah skrining hepatitis B pada ibu hamil. Data tahun 2024 menunjukkan bahwa 49.142 ibu hamil teruji reaktif HBsAg. Kabar baiknya, 93 persen bayi mereka telah menerima vaksin hepatitis B dan imunoglobulin (HBIG) dalam 24 jam pertama setelah lahir. Ini menunjukkan efektivitas program dalam mencegah penularan vertikal.
Dengan adanya integrasi ini, pencegahan penyakit menular dan tidak menular dapat dilakukan secara simultan. Hal ini tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga mendekatkan layanan kesehatan kepada masyarakat. Kemenkes menargetkan eliminasi hepatitis pada tahun 2030, yang memerlukan penguatan layanan berbasis komunitas secara signifikan.
Tantangan Distribusi Layanan dan Solusi Pemerintah
Meskipun ada kemajuan, Kemenkes mengakui bahwa layanan deteksi dan penanganan hepatitis B dan C masih belum merata di beberapa daerah terpencil dan perbatasan. Keterbatasan fasilitas laboratorium, kekurangan tenaga kesehatan, serta kesulitan logistik menjadi tantangan utama di wilayah dengan infrastruktur kesehatan minimal. Distribusi layanan hepatitis, deteksi viral load, dan akses terhadap obat-obatan masih sangat terbatas.
Saat ini, layanan pengobatan hepatitis C secara nasional hanya tersedia di 56 kabupaten dan kota di 38 provinsi. Namun, banyak populasi berisiko tinggi, seperti pengguna narkoba suntik dan penderita HIV, tinggal di luar lokasi tersebut. Ini menunjukkan cakupan pengobatan hepatitis yang masih terbatas dan perluasan jangkauan sangat mendesak.
Dari 641.818 tenaga kesehatan yang telah diskrining, 11.154 di antaranya positif hepatitis B. Banyak dari mereka kesulitan mengakses fasilitas pengobatan, terutama yang tinggal di luar kota-kota besar. Untuk mengatasi kekurangan ini, pemerintah tengah memperluas layanan berbasis jaringan rujukan dan memanfaatkan pendanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) guna menjangkau area dengan layanan terbatas. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas pengobatan bagi seluruh lapisan masyarakat.