UGM Kembangkan Teknologi AI Deteksi Dini TBC, Sasar Eliminasi Kasus di Indonesia
Tim peneliti UGM berinovasi menciptakan teknologi deteksi TBC berbasis AI untuk meningkatkan akurasi diagnosis dan pemerataan akses layanan kesehatan di Indonesia, negara dengan kasus TBC tertinggi kedua di dunia.

Tim peneliti Universitas Gadah Mada (UGM) di Yogyakarta mengembangkan teknologi pendeteksi tuberkulosis (TBC) berbasis kecerdasan buatan (AI). Inovasi ini diluncurkan sebagai respons terhadap tingginya angka kasus TBC di Indonesia dan ketergantungan pada teknologi impor. Penelitian ini bertujuan untuk mendiagnosis TBC lebih cepat dan akurat, sekaligus meningkatkan akses layanan kesehatan di seluruh Indonesia, terutama bagi kelompok rentan.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM, Antonia Morita, menjelaskan bahwa teknologi ini berupa perangkat lunak 'computer-aided detection' (CAD). Perangkat lunak ini akan membantu tenaga kesehatan menganalisis hasil rontgen dada untuk mendeteksi TBC. "Kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengembangkan teknologi ini sendiri, apalagi dengan jumlah kasus yang tinggi," ujar Morita menekankan pentingnya kemandirian teknologi di Indonesia.
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam penanggulangan TBC. Dengan estimasi sekitar 1.060.000 kasus TBC, baru sekitar 81 persen yang terdiagnosis. WHO menargetkan cakupan deteksi 100 persen, dan teknologi CAD diharapkan dapat membantu mencapai target tersebut. Deteksi dini menjadi kunci percepatan eliminasi TBC di Indonesia.
Teknologi CAD dan Pemerataan Akses Kesehatan
Selain meningkatkan akurasi diagnosis, teknologi CAD juga dirancang untuk mengatasi kesenjangan akses layanan kesehatan. Kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat di daerah terpencil seringkali menghadapi hambatan dalam mendapatkan layanan TBC. Budaya patriarki dan kendala fisik serta sosial menjadi beberapa faktor penyebabnya.
Penelitian ini menyadari pentingnya pemerataan akses layanan kesehatan. Dengan teknologi CAD, diharapkan tenaga kesehatan di daerah dengan keterbatasan tenaga medis, khususnya radiolog, dapat terbantu dalam mendiagnosis TBC. Hal ini sejalan dengan upaya Kementerian Kesehatan RI dalam menerapkan active case finding (ACF) di 25 kabupaten/kota, yang telah meningkatkan angka deteksi kasus TBC sebesar 2-7 persen pada tahun 2024.
Tim peneliti UGM berharap program ACF dapat diperluas ke wilayah terpencil. Teknologi CAD yang dikembangkan diharapkan mampu menjembatani kesenjangan akses layanan kesehatan dan mempercepat eliminasi TBC di seluruh Indonesia.
Kerja Sama dan Dukungan Internasional
Dalam pengembangan teknologi CAD, tim peneliti UGM berkolaborasi dengan berbagai institusi, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa mitra kolaborasi antara lain University of Melbourne, Monash University Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP), dan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA).
Proyek ini mendapatkan dukungan dari program KONEKSI yang diinisiasi oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia. Kerja sama internasional ini menunjukkan komitmen global dalam membantu Indonesia mengatasi permasalahan TBC.
Antonia Morita optimis bahwa dengan dukungan inovasi teknologi dan kebijakan yang inklusif, target eliminasi TBC di Indonesia dapat tercapai lebih cepat. Inovasi ini bukan hanya sekadar teknologi, tetapi juga harapan bagi jutaan orang Indonesia untuk terbebas dari penyakit TBC.
Kesimpulan: Pengembangan teknologi deteksi TBC berbasis AI oleh UGM merupakan langkah signifikan dalam upaya eliminasi TBC di Indonesia. Kolaborasi dan dukungan internasional semakin memperkuat komitmen untuk mengatasi tantangan kesehatan ini dan memastikan akses layanan kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.