Kendaraan Hidrogen di Indonesia: Peta Jalan Terhambat Regulasi dan Insentif
Kementerian ESDM menyatakan peta jalan kendaraan hidrogen di Indonesia terhambat karena belum adanya regulasi dan insentif yang jelas, meskipun dua SPBH telah beroperasi di Jakarta dan Karawang.

Jakarta, 15 Februari 2024 - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap tantangan dalam pengembangan transportasi berbasis hidrogen di Indonesia. Kendala utama terletak pada kurangnya regulasi dan insentif yang mendukung, sehingga peta jalan pengembangan teknologi ini masih belum jelas.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) diharapkan menjadi solusi. Namun, pembahasan mengenai insentif dalam RUU tersebut masih belum tuntas.
Kendala Regulasi dan Insentif
“Dasar hukum yang belum ada membuat kita mandek,” ungkap Eniya Listiani saat acara Toyota Series Carbon Neutrality di Jakarta. Ia menambahkan bahwa RUU EBET memuat pasal tentang insentif bagi pelaku usaha yang melakukan mitigasi iklim dan penurunan emisi karbon. Namun, mekanisme pengalihan insentif dari energi fosil ke energi terbarukan masih belum terdefinisi.
“Belum ada aturan untuk mengalihkan insentif dari energi fosil ke energi terbarukan. Setelah ada payung hukumnya, baru kita bisa membahas model insentifnya,” jelasnya.
Harga Kendaraan dan Infrastruktur
Selain regulasi dan insentif, harga kendaraan hidrogen juga menjadi hambatan. Meskipun Jepang telah berhasil memasarkan kendaraan hidrogen dengan harga relatif terjangkau, sekitar 1,7 juta Yen atau Rp180.908.900, Indonesia masih perlu mendorong produksi lokal untuk menurunkan harga jual.
Dengan produksi lokal yang masif, diharapkan harga kendaraan hidrogen dapat menjadi lebih kompetitif di pasar Indonesia.
Perkembangan Infrastruktur SPBH
Sebagai langkah awal, Indonesia telah membangun dua Stasiun Pengisian Bahan Bakar Hidrogen (SPBH) di Senayan, Jakarta Selatan, dan Karawang, Jawa Barat. Keberadaan SPBH ini diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pengembangan kendaraan hidrogen dan ekosistem pendukungnya.
Kesimpulan
Meskipun terdapat tantangan regulasi dan harga, perkembangan infrastruktur SPBH menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengembangkan teknologi hidrogen. Kejelasan regulasi dan insentif dalam RUU EBET sangat krusial untuk mendorong percepatan adopsi kendaraan hidrogen di masa mendatang. Pemerintah perlu segera menyelesaikan pembahasan RUU EBET untuk memberikan kepastian hukum dan mendorong investasi di sektor ini.
Keberhasilan pengembangan kendaraan hidrogen di Indonesia tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada dukungan regulasi, insentif yang tepat, dan kesiapan infrastruktur pendukung. Langkah-langkah konkret dan terukur diperlukan untuk mewujudkan target tersebut.